Yogyakarta (ANTARA News) - Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc mengatakan fenomena penegakan hukum saat ini menunjukkan praktik eksploitasi dan diskriminasi perlakuan, sehingga mengusik rasa keadilan dan kepastian hukum.

"Penegakan hukum yang menunjukkan perbaikan dalam beberapa waktu yang lalu, saat ini telah kembali kepada titik nadir," katanya di Yogyakarta, Minggu, menyikapi situasi nasional terkini.

Menurut dia, masalah lembeknya penegakan hukum seharusnya dijadikan momentum oleh pemerintah dalam melakukan reformasi hukum di bidang struktur, subtansi, dan kultur di Indonesia.

Selain itu, koalisi besar yang ada di DPR RI juga diharapkan tidak menurunkan daya kritisnya dan berperan sebagai wakil rakyat yang sebenarnya, menjunjung tinggi moralitas, menjalankan perannya menegakkan prinsip-prinsip demokrasi yang riil untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.

Koalisi besar di DPR RI juga diharapkan mengesampingkan kepentingan politis pragmatis jangka pendek yang melahirkan situasi mundur ke masa lalu, yang hanya melahirkan wajah demokrasi formalistik dan bukan demokrasi substantif.

"Keputusan terkait kebijakan politik jangan diatur oleh segelintir elit, `cukong`, dan `makelar kasus` (markus)," kata Edy yang juga Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini.

FRI juga mengharapkan presiden dan para pejabat negara lebih terbuka dan cepat menanggapi situasi yang berkembang di masyarakat. Pada era teknologi komunikasi canggih dan respons atas suatu informasi harus ekstra cepat.

"Jika tidak, informasi salah yang berkembang akan semakin memperkeruh suasana, menjadikan penanganan masalah menjadi lebih berat, dan berpotensi menimbulkan konflik antarkomponen bangsa," katanya.

Sehubungan dengan hal itu, FRI mengajak segenap kalangan kampus, lembaga swadaya masyarakat yang kredibel, dan siapa pun yang peduli untuk memajukan bangsa, agar bersama-sama secara jernih mencari jalan keluar dari masalah yang ada.

"Hal itu dalam rangka mengawal perjalanan demokrasi bangsa yang terancam mandul, dan reformasi yang berjalan tersendat serta berpotensi stagnan," katanya.

Ia mengatakan kondisi itu diindikasikan dengan episode drama konflik antarlembaga penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejakgung).

Episode ini, menurut dia mengindikasikan ada sesuatu yang salah dalam penegakan hukum, demokrasi, dan kepemimpinan nasional.

"Hal tersebut menunjukkan bahwa sinyalemen FRI setahun yang lalu tentang adanya `corruptor fight-back` dan mafia peradilan telah menjadi fenomena yang sulit dibantah, dan telah menggugah keprihatinan semua komponen bangsa," katanya.(*)

Pewarta: mansy
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2009