Jakarta (ANTARA News) - Tidak lama lagi bakal digelar KTT Perubahan Iklim atau Konferensi Para Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja untuk Perubahan Iklim (Conference of Parties The United Nations Framework Convention on Climate Change /COP UNFCCC).

Konferensi tahunan yang ke-15 kalinya tersebut punya agenda utama untuk membentuk sebuah kesepakatan iklim global ambisius untuk periode dari 2012 ketika periode komitmen pertama di bawah Protokol Kyoto berakhir.

Protokol Kyoto merupakan amandemen UNFCCC sebagai hasil KTT Perubahan Iklim ketiga di Kyoto, Jepang pada 1997.

Protokol Kyoto merpakan persetujuan internasional mengenai pemanasan global, dimana negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.

Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 derajad C dan 0,28 derajad C pada tahun 2050 jika semua negara benar-benar melaksanakan komitmennya.

Protokol ini dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999, dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.

Secara resmi oleh UNEP, Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2 persen dibandingkan dengan tahun 1990.

Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-2012.

Target nasional berkisar dari pengurangan 8 persen untuk Uni Eropa, 7 persen untuk AS, 6 persen untuk Jepang, 0 persen untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8 persen untuk Australia dan 10 persen untuk Islandia.

Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61 persen dari seluruh emisi.

Ada dua negara yang telah menandatangani namun belum meratifikasi protokol tersebut yaitu Amerika Serikat dan Kazakstan.

Pada awalnya AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang.

Namun pada awal Desember 2007 Australia akhirnya ikut serta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negara tersebut.

Para pihak dalam UNFCCC terbagi menjadi tiga yaitu negara-negara Annex-I yaitu negara-negara industri dan negara maju, negara-negara Annex-II serta khusus negara berkembang.

Negara-negara Annex-I yang telah meratifikasi Protokol Kyoto berkomitmen untuk mengurangi level emisi GRK dengan target dibawah level emisi GRK tahun 1990. Pelaksanannya bisa diperluas dengan embli emisi yang diperkenankan atau menukar level emisi GRK mreka melalui mekanisme yang disetujui oleh semua pihak pada UNFCCC.

Annex-II merupakan sub group dari negara Annex-I terdiri dari anggota OECD (Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi ), termasuk negara-negara yang kondisi ekonominya berada pada masa transisi pada 1992.

Sedangkan negara berkembang tidak berkewajiban untuk mengurangi level emisinya kecuali negara Annex-I mendukung pendanaan dan teknologi, tetapi negara berkembang bisa masuk dalam negara Annex-I secara sukarela bila kondisi negaranya memang telah maju.

Hasil Bangkok
Kepala Sekretariat DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) yang menjadi bagian dari Delegari RI pada "Bangkok Climate Change Talks" sekitar dua bulan yang lalu menjelaskan sudah ada beberapa negara maju maupun negara non Annex-I yang menyebutkan angka agregat target penurunan emisi.

Proposal angka agregat target penurunan emisi yaitu sebesar 30 persen dari Uni Eropa, 40 persen dari Cina, India, Brasil, Afrika Selatan, Indonesia, dan 32 negara lainnya, sebesar 45 persen dari asosiasi negara kepulauan kecil (AOSIS), negara miskin (LDC) dan negara Amerika Tengah.

Selain itu beberapa negara telah menyebutkan angka nasional target penurunan emisi yaitu Australia menargetkan menurunkan 5 - 20 persen dari level emisi 2000 pada 2020, sedangkan Kanada sebesar 20 persen dari level emisi 2006 pada 2020.

Negara Uni Eropa sebesar 20 persen dari level emisi 1990 pada 2020 dan atau 30 persen apabila negara lain seperti Amerika dan Negara Berkembang Besar ikut serta.

Sedangkan Norwegia sebesar 30 persen dari level emisi 1990 pada 2020 dan atau 40 persen apabila negara lain ikut serta.

Sementara Jepang menargetkan 25 persen dari level emisi 1990 pada 2020, dan Rusia sebesar 10 - 15 persen dari level emisi 1990 pada 2020.

Sedangkan Indonesia meski bukan negara Annex-1, secara sukarela menetapkan target penurunan emisi karbon sebanyak 26 persen pada 2020 dan atau 41 persen bila mendapatkan bantuan dana dan teknologi dari negara maju.

Hindari Komitmen
Tetapi pada sesi di "Barcelona Climate Change Talks" seblan yang lalu, negara-negara maju (Annex-1) terkesan menghindari untuk berkomitmen dalam pendanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

"Penundaan pendanaan perubahan iklim oleh negara maju akan menghambat upaya negara berkembang dan negara miskin dalam menghadapi dampak perubahan iklim," kata Ketua Pokja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Ismid Hadad, disela-sela pertemuan di Barcelona.

Untuk menghindari jalan buntu pada KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Delegasi RI (Delri) menawarkan jalan tengah.

Penasihat Senior Delri Delegasi RI, Eddy Pratomo telah mengadakan serangkaian pendekatan bilateral dengan beberapa negara kunci guna mencari jalan tengah pada pertemuan di Barcelona.

Hasilnya adalah gagasan RI agar Kopenhagen menyepakati "payung kesepakatan" berisi tujuan global jangka panjang, proses hingga disepakatinya perjanjian internasional baru sebelum bulan Juni 2010.

"Usulan ini ditujukan untuk menjembatani beragam pandangan dan akan didiskusikan secara lebih mendalam di Kopenhagen. Yang pasti, usulan RI ini menekankan bahwa "payung kesepakatan" ini harus disepakati dalam satu paket dengan kesepakatan pengurangan emisi gas rumah kaca negara-negara maju dalam konteks Protokol Kyoto," kata kata Eddy yang juga Dubes RI untuk Jerman.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar mengatakan Indonesia merasa optimistis bahwa usulan jalan tengah berupa "payung kesepakatan" untuk hasil KTT Perubahan Iklim (COP) ke-15 dapat diterima oleh negara-negara peserta.

Rachmat mengatakan payung kesepakatan yang diusulkan merupakan posisi (standing point) Delegasi RI (Delri) pada pertemuan puncak badan dunia untuk perubahan iklim (UNFCCC) itu.

"Indonesia berperan memberikan usulan dengan format yang mencakup semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang," kata Rachmat dalam jumpa pers usai Rapat Pleno DNPI di Kantor Menkokesra di Jakarta, Rabu.

Meski berbagai pihak merasa pesimis dengan hasil KTT Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen, tetapi perlu optimisme dan usaha keras untuk menagih janji kepada negara Annex-1.

Bila perlu, datangkanlah kembali bocah perempuan Severn Suzuki yang pidatonya di KTT Bumi di Rio De Jeneiro berhasil membungkam dan menyadarkan para pemimpin negara untuk lebih serius dan berkomitmen menghadapi perubahan iklim.(*)

Pewarta: Nur R Fajar
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009