Jakarta (ANTARA News) - Karyawan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) secara tegas menolak Dahlan Iskan yang disebut-sebut bakal menjadi orang nomor satu di BUMN Kelistrikan itu.

"Selain yang bersangkutan diragukan kompetensinya, juga diduga kuat akan menimbulkan konflik kepentingan," kata Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, Ahmad Daryoko saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Pada Jumat siang (4/12) ratusan karyawan PT PLN yang digerakkan oleh Serikat Pekerja PT PLN menggelar aksi unjuk rasa penolakan terhadap kemungkinan Dahlan Iskan jadi Dirut di PT PLN.

Konflik kepentingan yang mungkin timbul, kata Daryoko, karena sebenarnya Dahlan Iskan adalah pemilik PLTU Embalut 2 x 25 MW yang berlokasi di Kalimatan Timur.

"Masak, sebelumnya dia jadi penjual (listrik) lalu mau jadi Dirut. Lantas setelah menjadi dirut bisa berperan ganda sebagai penjual sekaligus pembeli," kata Ahmad.

Ahmad juga tidak menafikan pengalaman dan kesuksesan Dahlan Iskan mengembangkan kelompok usaha Jawa Pos. "Namun, untuk kompetensi di bidang ketenagalistrikan, kami sangat meragukan," katanya.

Dari sisi kepemimpinan pun ia masih kurang karena menurut Daryoko, ketenagalistrikan adalah bisnis energi yang padat teknologi dan padat modal.

Daryoko mengaku, unjuk rasa siang itu diikuti ratusan orang anggota SP PLN yang datang dari sejumlah DPD di Indonesia.

Mereka mewakili rekan-rekannya dari PLN Pusat, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Bahkan Haryoto dari DPP SP PLN Jawa Timur menegaskan bahwa mengaku tahu persis kurangnya kompetensi Dahlan Iskan jika memimpin BUMN setrum itu.

"Jika orang seperti Dahlan Iskan memimpin PLN, ia akan menganggap listrik sebagai komoditi," katanya.

Dengan memperlakukan listrik sebagai komoditi, tarif dasar listrik akan didorong lepas ke pasar. Akibatnya, menurut Haryoto, masyarakat yang dirugikan.

Sebelumnya, santer terdengar bahwa Dahlan Iskan akan segera menduduki pos baru sebagai Direktur Utama PT PLN.

Namun tidak begitu jelas kenapa pilihan jatuh ke Dahlan Iskan, pemilik pembangkit yang kini tengah menunggu keputusan renegoisasi harga karena dianggap rugi.

Daryoko juga mengatakan, kebijakan mengganti direksi PLN dinilai pula merupakan keputusan yang konyol.

"Persoalan PLN bukan pada siapa yang menduduki kursi direksi tapi karena pemerintah tidak punya komitmen memberdayakan PLN. Soal pembangkit, pemerintah tidak mampu menjamin pasokan gas dan batubara," katanya.

Ia menegaskan, seharusnya pemerintah berani memberlakukan DMO gas dan batubara. Jika tidak, akibatnya beberapa pembangkit tenaga gas menggunakan solar.

"Dibanding gas, konsumsi BBM untuk pembangkit menghabiskan anggaran Rp60 triliun per tahun. Itu uang rakyat dan output daya pembangkit berkurang 10-15 persen," jelas Daryoko.
(*)

Pewarta: surya
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2009