Brisbane (ANTARA News) - Kesepakatan apapun yang akan dicapai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-15 Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, isu hubungan hak karya intelektual dengan pengembangan dan pemakaian bersama berbagai teknologi ramah lingkungan sepatutnya tidak diabaikan.

"Pendekatan hak karya intelektual (IPR) yang ada saat ini gagal menjawab persoalan-persoalan lingkungan dan dukungannya pun kecil bagi mendorong pengembangan teknologi bersih," kata Dosen Senior Fakultas Hukum Universitas Nasional Australia (ANU) di Canberra, Dr.Matthew Rimmer, Selasa.

Menurut Rimmer, pembahasan masalah ini sangat penting karena "IPR" menentukan siapa pemilik teknologi bersih itu, siapa yang memanfaatkannya dan siapa yang memiliki akses terhadap teknologi bersih tersebut.

Karena itu, pakar hukum yang aktif di Pusat Kajian Karya Intelektual Bidang Pertanian Australia (ACIPA) ini menggarisbawahi pentingnya mereformasi sistem karya intelektual untuk menjawab berbagai isu lingkungan dunia.

"Kesepakatan apapun yang dihasilkan Pertemuan Kopenhagen sepatutnya menyentuh masalah karya intelektual dan perlindungan lingkungan."

KTT yang dihadiri para pemimpin dari 120 negara guna mencapai kesepakatan dalam mengurangi emisi karbon sebagai pemicu fenomena pemanasan global itu selayaknya menghasilkan mekanisme yang bisa diterapkan untuk membuka akses terhadap berbagai teknologi bersih, katanya.

Mekanisme itu menyentuh persoalan alih teknologi, lisensi wajib, paten, berbagi teknologi yang dibiayai publik, serta pembebasan hak karya intelektual bagi negara-negara yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim, katanya.

Pengaturan "IPR" yang fleksibel ini telah pun diakui dan diizinkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Karenanya, Pertemuan Kopenhagen tidak seharusnya menjadi "sumber keuntungan" bagi para pemilik "IPR".

Bagi Rimmer, langkah perlindungan IPR yang kuat justru menghambat pengembangan, difusi dan alih teknologi bersih guna mendukung upaya bersama mengurangi emisi karbon.

Berkaitan dengan UNFCCC Kopenhagen itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Durao Barroso sepakat mendorong keluarnya hasil yang komprehensif pada KTT tersebut.

Indonesia berinisiatif mengurangi emisi 26 persen pada 2020. Presiden Yudhoyono mengharapkan inisiatif Indonesia itu bisa diikuti oleh negara berkembang lainnya.(*)

Pewarta: kunto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2009