Jakarta (ANTARA News) - Direktur Pusat Advokasi dan Konsultasi Ritel Indonesia Hermawi F Taslim mengatakan produk indsutri dari Cina yang membanjiri Indonesia bisa mematikan industri berbasis rakyat di Indonesia.

"Para era tahun 1970-an produk Cina yang diimpor hanya produk yang tidak bisa dibuat di Indonesia, tapi saat ini semua produk Cina masuk ke Indonesia," kata Hermawi F Taslim pada diskusi "Ketika Produk Cina Menyerbu Indonesia" di Jakarta, Sabtu.

Hermawi mencontohkan, saat ini buah-buahan, bumbu masak, mainan anak-anak dan sebagainya semuanya diimpor dari Cina, padahal produk lokal Indonesia sangat banyak.

Karena produk impor dari Cina harganya sangat murah, kata dia, maka produk lokal Indonesia kalah bersaing dan akan mati secara perlahan-lahan.

Menurut dia, produk Cina yang menyerbu pasar Indonesia di semua sektor industri, sehingga pelaku bisnis di Indonesia harus kreatif untuk bisa bertahan.

Pemilik usaha elektronik di Glodok Jakarta ini mencontohkan, di sektor industri elektronik banyak pedagang komputer di pasar Glodok dan Mangga Dua Jakarta yang mendaftarkan hak paten untuk merek dagangnya.

"Realitasnya merek dagang tersebut hanya kemasan, karena komponennya sama saja yakni produk impor dari Cina," kata dia.

Hermawi mengimbau pemerintah agar memiliki kemauan politik yang kuat untuk melindungi industri di dalam negeri terutama yang berbasis rakyat agar tetap hidup pada era pasar bebas ASEAN-China (ACFTA).

Menurut dia, jangan sampai Indonesia menjadi korban yang hanya menjadi pasar bagi produk industri dari Cina dan negara lainnya karena Indonesia memiliki potensi untuk menjadi produsen misalnya potensi energi dan sumber daya manusia (SDM).

Ia mencontohkan, di Vietnam jika ada produk impor yang mendominasi pasar lokal maka pemerintahnya meminta negara asal produk tersebut membangun pabrik di Vietnam, sehingga iklim investasi dan sektor industrinya tetap tumbuh.

"Hendaknya pemerintah bisa menempuh langkah terbaik menghadapi penerapan AC FTA mulai 1 Oktober 2010," katanya.(*)

Pewarta: handr
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2009