Jakarta (ANTARA News) - Gencarnya promosi universitas asing di Indonesia belakangan ini makin mengancam eksistensi perguruan tinggi swasta di Indonesia seperti tampak dalam iklan mereka di berbagai media yang mengundang calon mahasiswa untuk menghadiri pameran pendidikan tinggi luar negeri.

"Saya khawatir PTS (Perguruan Tinggi Swasta) kita bisa makin terdesak," kata pakar "branding" Amalia E. Maulana, Ph.D pada sebuah diskusi yang diselenggarakan di Jakarta akhir pekan ini.

Menurut Amalia, selain persaingan di antara lebih dari 2.600-an PTS sendiri, PTS juga terancam oleh perguruan tinggi negeri yang membuka berbagai program masuk universitas negeri yang dosen dan fasilitasnya dibiayai negara.

Apa yang dikatakan Amalia itu sejalan dengan pernyataan yang pernah disampaikan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Suharyadi.

Beberapa waktu lalu, Suharyadi pernah mengatakan bahwa banyak PTS kekurangan peminat calon mahasiswa. "Mereka sampai kalang kabut mencari mahasiswa yang mau masuk kampusnya," tutur Suharyadi.

Amalia mengatakan perguruan tinggi tertentu tak terpengaruh, khususnya perguruan tinggi dengan reputasi baik.

"Mereka bisa tetap berkibar dan mampu menarik minat banyak calon mahasiswa baru. Ini terjadi karena pengelola perguruan tinggi itu berhasil mentransformasikan konsumen dari sekadar teman (just friends) menjadi `sahabat kental atau kekasih` (soul mates) berkat `branding` yang bagus," kata Amalia yang juga drektur Etnomark Consulting itu.

Karena itu, Amalia menyarankan agar manajemen perguruan tinggi tidak memberlakukan mahasiswa sebagai sekadar "produk". "Pendidikan tinggi bersifat unik dan kompleks," kata ibu tiga anak itu, "Pengelolanya harus inovatif."

Manajemen PTS harus secara terus-menerus memastikan kepuasan pelanggan tercapai pada setiap tahapan interaksi dengan universitas. Dalam arti luas, kepuasan itu sesungguhnya merupakan modal perguruan tinggi untuk menciptakan `getok-tular` dari mulut ke mulut (word-of-mouth) yang positif dari satu orang kepada orang lain.

"Pelanggan yang puas dalam berinteraksi dengan `brand` akan secara perlahan meningkatkan keterikatan hubungannya dengan `brand`. Jika kedekatan `customer-brand` sudah mencapai tingkat `soul mates`, maka `brand` perguruan tinggi itu akan selalu diusungnya," kata Amalia.

Dia menambahkan konsumen yang sudah menjadi "soul mates" akan menjadi "brand ambassador" bagi universitas. "Tanpa diminta pun, ia akan mempromosikan pengalamannya yang berkaitan dengan `brand`, yakni sang perguruan tinggi itu sendiri," kata Amalia lagi.

Bila konsumen sudah berada dalam posisi "soul mates", maka mereka tidak lagi memposisikan diri lebih tinggi daripada universitas, sehingga harus dipuaskan dan dilayani.

"Para `soul-mates` akan menjadi mitra kolaborasi bagi universitas, karena apa pun yang mereka rasakan, baik itu usulan positif maupun kritik membangun, akan dibagi kepada manajemen pemasaran atau pihak universitas," ujarnya.

Lebih jauh dia mengatakan semakin banyak jumlah "brand ambassador", semakin tinggi nilai brand, terutama untuk produk universitas yang bersifat kompleks, dan punya keterlibatan tinggi (high involvement).

"Ini amat penting, karena kredibilitas `brand ambassador` dalam penyampaian pesan tentang `brand` lebih kuat dibandingkan kalau pesan itu disampaikan oleh manajemen pemasaran dan timnya sendiri," katanya.

Sejalan dengan Amalia, Direktur Marketing dan Public Relations Universitas Paramadina, Syafiq Basri Assegaff, mengatakan bahwa saat ini "getok-tular" bukan hanya terjadi dalam bentuk "word of mouth" (kata dari mulut), melainkan juga "word of mouse" (kata di komputer).

Mahasiswa dan calon mahasiswa menyampaikan kesan dan pesan mereka melalui "mouse" komputer jaringan media sosial seperti "facebook", "mailing list", "blog", dan twitter yang belakangan makin ramai, katanya.

Itu sebabnya, kata Syafiq, kini perguruan tinggi dituntut meningkatkan mutunya dari waktu ke waktu.

"Perguruan tinggi tidak hanya wajib meningkatkan mutu pengajar, kurikulum dan lainnya tetapi juga mesti makin selektif dalam menerima calon mahasiswa. Tidak sekadar mengejar jumlah uang masuk dari banyaknya mahasiswa yang diterima," kata Syafiq.

Menurut dia, mutu mereka yang diterima juga harus kian baik dari waktu ke waktu, agar bisa bersaing dengan perguruan tinggi lain, bahkan di tingkat di dunia.

Amalia berpendapat bahwa pengelola perguruan tinggi juga mesti menunjukkan komitmen yang tinggi misalnya melalui tekad untuk merekrut tenaga pemasaran profesional yang handal, dan memberikan tugas dan tanggung jawab yang lebih strategis, jangka panjang, yang berkaitan dengan "brand management".

Meski bukan hal yang mudah, menurut Amalia, pengelola perguruan tinggi harus bisa memadukan dua tujuan, yaitu "social marketing" (pemasaran sosial) dan "profit marketing" (pemasaran menghasilkan untung).

Prinsipnya adalah bagaimana seorang pemasar senior bisa melihat dari kacamata yang lebih luas untuk memenuhi dua tujuan tersebut; dan itu hanya mudah dilakukan selama "brand" yang dimilikinya punya nilai tinggi di mata publik.

Dana yang dibutuhkan juga tidak harus diperoleh melulu hanya dari konsumen (mahasiswa). "Sebagai alternatifnya, sumber dana bisa datang dari masyarakat dan korporasi," tambah Amalia.

Sejalan dengan itu Syafiq menimpali bahwa itulah yang dilakukan oleh Universitas Paramadina belakangan ini.

"Sejumlah donor dari kalangan pribadi dan korporat telah mempercayai kami untuk mengelola program bea siswa melalui Paramadina Fellowship Program," kata Syafiq.

Pada tahun 2009 sebanyak 71 mahasiswa baru dari seluruh Indonesia berhasil diterima di Paramadina melalui program fellowship berkat kucuran dana para donor sekitar Rp7 miliar.(*)

Pewarta: rusla
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2010