Jakarta (ANTARA News) - Mantan Dirjen Pajak Fuad Bawazier menegaskan bahwa pengelolaan pajak jangan sampai dicampuri dengan kepentingan politik, untuk memenuhi kepuasan elit politik tertentu, karena bisa menghancurkan negara.

"Saya mulai merasa pajak digunakan untuk kepentingan politik," kata Fuad Bawazier dalam diskusi tentang perpajakan dengan Komisi IV DPD RI, di Gedung MPR/DPR/ DPD, Jakarta, Selasa.

Menurut dia isu-isu pajak dimunculkan dan diredupkan sebagai instrumen untuk menekan pihak lain. Ketika seorang politisi memunculkan sikap kritis, yang terjadi kemudian adalah pencecaran atas masalah pajak pada politisi tersebut.

Selain itu, Fuad Bawazier menyayangkan bahwa sekarang ini para pejabat negara berbondong-bondong membuat NPWP setelah mereka mendapatkan jabatan. Padahal sebelumnya mereka belum berinisiatif membuat NPWP.

"Pajak itu kan sumber pendapatan negara yang paling penting, janganlah dipolitisasi," imbuhnya.

Dalam hal lain, Fuad Bawazier juga menyoroti masalah 70 persen pemasukan dana yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak. Hal tersebut patut disayangkan karena Indonesia memiliki SDA yang kaya namun tidak bisa memanfaatkannya.

"Indonesia adalah negara terburuk dalam pengelolaan sumber daya alam," tuturnya.

Bahkan, kata dia, keadaan keuangan negara masih "besar pasak daripada tiang" yaitu lebih besar pengeluaran daripada pendapatan.

Pemerintah saat ini pernah menjanjikan untuk membuat defisit negara menjadi 0 persen, yang artinya tidak ada penambahan utang luar negeri. Fuad Bawazier meramalkan bahwa hal tersebut tidak akan terealisasi.

"Pemerintah boleh saja mencanangkan supaya defisit menjadi 0 persen, tetapi menteri-menterinya tetap kan memberlakukan utang," tandasnya lagi.

Masih dalam diskusi yang sama, Hendrik Pieter Ferdinand berpendapat bahwa pengelolaan pajak di Indonesia masih bersifat ekonomis, bukan berdasarkan pada potensial masyarakat. Hal itu disebabkan kurangnya ahli pajak dari Indonesia.

Dari tahun 1957 hingga sekarang, kata dia, hanya ada 2 doktor hukum perpajakan di Indonesia. Hal tersebut membuat pembuatan RUU dan UU tentang pajak tidak berimbang dan kurang memperhatikan pembayar pajak.

"Selama ini tidak banyak ahli pajak yang ikut merumuskan RUU Pajak, hanya para pengusaha saja yang ikut merumuskan UU Pajak," kata Hendrik Pieter.

Menurut Hendrik, sejak tahun 1969 pada saat pemberlakuan Pelita, program-program pengelolaan pajak belum jelas. Pemerintah semestinya lebih memperhatikan hak-hak wajib pajak.

"Namun demikian, masih sulit ya mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam memperhatikan masalah pajak," tambahnya.
(T.M-PPS/R009)

Pewarta: handr
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2010