Semarang (ANTARA News) - Antropolog Mudjahirin Thohir, Kamis, menilai fenomena kawin siri yang dipraktikan sebagian masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh budaya feodalistik dalam sejarah peradaban negeri ini.

"Pada masa kerajaan yang menganut budaya feodalistik kental, seorang raja akan dianggap berwibawa dan berkuasa jika memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki banyak istri," katanya di Semarang, Kamis.

Ia mengatakan, raja-raja zaman kerajaan dulu yang rata-rata beristri banyak sebenarnya tidak lepas dari pengaruh penaklukan oleh kerajaan-kerajaan itu di wilayah-wilayah lain.

"Sebab, para istri itu biasanya berasal dari setiap wilayah yang berhasil ditaklukkan dan hal ini sangat memengaruhi kewibawaan raja yang bersangkutan, bahwa raja yang memiliki istri banyak akan disegani," katanya.

Menurutnya, budaya feodalistik zaman kerajaan itu sampai saat ini masih memengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia sehingga tidak mengherankan JIka seorang laki-laki bisa memiliki istri lebih dari satu.

"Namun, masyarakat saat ini memilih mengambil segi praktisnya, yakni dengan nikah siri atau tanpa mencatatkan perkawinan ke lembaga yang berwenang. Hal ini justru menunjukkan sikap lelaki yang tidak `gentleman` (tidak berwibawa)," katanya.

Antropolog ini menilai perkawinan siri menciptakan celah untuk berbuat tidak adil, karena kawin siri hanya menuntut pelakunya bertanggungjawab hanya pada Tuhan.

"Kalau memang seorang laki-laki berani mempertanggungjawabkan perkawinannya pada Tuhan, mengapa mereka tidak mau mempertanggungjawabkan perkawinannya kepada manusia," kata dosen senior Universitas Diponegoro itu.

Mudjahirin menyetujui pemidanaan pelaku perkawinan siri seperti disebut rancangan undang-undang (RUU) Peradilan Agama, sebagai pengingat bagi pelaku nikah siri.

Dia menepis anggapan bahwa negara telah memasuki wilayah privat manusia karena menurutnya negara berwenang mengatur manusia yang hidup dalam wilayahnya, namun tetap ada batasan-batasan tertentu.(*)

Pewarta: jafar
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2010