Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) meningkatkan status kasus tiket perjalanan diplomat di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) 2006-2009, dari penyelidikan ke penyidikan.

"Kejagung menyatakan kasus mark up tiket perjalanan ditingkatkan ke penyidikan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Didiek Darmanto, di Jakarta, Senin.

Kapuspenkum menyatakan penyidikan atas kasus tersebut bermula dari adanya laporan masyarakat mengenai dugaan adanya penyimpangan dalam realisasi DIPA 2009 Deplu RI khususnya biaya perjalanan dinas untuk mutasi/penarikan diplomat sebesar Rp100 miliar.

"Yaitu dilakukan dengan cara me- mark up refund tiket yang diduga dilakukan sejak tahun 2000. Dugaan tersebut didasarkan pada pengelolaan pembiayaan refund tiket yang sudah dilakukan sejak tahun 2000," katanya.

Dikatakan, bahwa rekapitulasi bulan Juni sampai dengan Desember 2009 terhadap 4 travel, ditemukan 120 dokumen senilai 650,855 dollar AS atau Rp6,37 miliar, yang pertanggungjawabannya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan Inspektorat Kementrian Luar Neger tanggal 4 Februari 2010, negara mengalami kerugian tahun 2008 dan 2009 sebesar Rp21,5 miliar," katanya.

Sebelumnya, ICW melaporkan dugaan korupsi biaya perjalanan pejabat Kemlu dengan potensi kerugian negara sebesar Rp6,05 miliar.

Kasus itu terkait dengan penggelembungan harga tiket perjalanan dinas para diplomat atau pejabat beserta keluarga pada 2009.

Data ICW menyebutkan, sedikitnya ada tujuh perusahaan yang ditunjuk sebagai rekanan untuk keperluan perjalanan dinas para pejabat itu.

Namun, perhitungan kerugian negara selama 2009 didapat dari data kerjasama Kementerian Luar Negeri dengan empat rekanan.

Penggelembungan biaya perjalanan itu dilakukan ketika para pejabat mengklaim biaya tersebut.

Salah satu cara penggelembungan adalah dengan menggunakan  invoice kosong yang diberikan oleh pihak rekanan. Dengan demikian, para pejabat bisa dengan leluasa menentukan harga tiket.(R021/A038)

Pewarta: adit
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2010