"Pasalnya pemerintah masih melihat Papua sebagai wilayah konflik, jadi menggunakan pendekatan keamanan yang represif," ulas Septer dalam diskusi bertema "Selamatkan Manusia dan Hutan Papua" itu.
Akibatnya, lanjut Septer, pembangunan tidak berjalan karena masyarakat mencurigai pemerintah dan tidak mempercayai apakah pemerintah memiliki itikad baik atau tidak.
Pendapat senada diutarakan Mufti Makarim, pengamat militer dari Institute for Defense and Peace Studies (IDSPS) yang juga salah satu pemibicara dalam diskusi itu, yang menyebut saatnya keamanan ditempatkan sebagai pelayanan, bukan dalam kerangka konflik.
"Dalam konflik, kalau Anda bukan kawan, maka pasti lawan," jelasnya memberikan analogi.
Pater Neles Tebay Pr, tokoh masyarakat Papua yang juga dosen STFT Fajar Timur, Abepura, Jayapura, menimpali pernyataan Mufti degan menyimpulkan bahwa yang harus dikedepankan di Papua adalah dialog.
"Jika pemerintah ingin membangun Papua maka harus bertanya kepada masyarakat Papua, pembangunan seperti apa yang sesuai dengan mereka," papar Neles.
Pendekatan dialog ini harus melibatkan semua pihak di Papua sehingga bisa mewakili semua kepentingan di tanah yang kaya dengan suku, budaya, dan agama, demikian Neles. (*)
liberty/jafar
Pewarta: jafar
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2010