Jakarta (ANTARA News) - Pada satu lokakarya nasional tanggal 21 Oktober 2008, Menteri Pertanian (saat itu) Anton Apriyantono mengeluhkan makin menyusutnya lahan pertanian Indonesia. Laju penyusutannya, 110 ribu hektar per tahun!

Indonesia saat ini, berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, memiliki 94,1 juta hektar lahan potensial. Dari jumlah itu yang layak menjadi pesawahan hanya 25,4 juta hektar atau 27 persen.

Andai rasio penyusutan lahan itu konstan, maka 20 tahun lagi luas lahan pertanian menyusut menjadi 91,9 juta hektar. "Jika ini tak dikendalikan, kelangsungan ketahanan pangan nasional terancam," kata Anton.

Pegiat lingkungan Emil Salim sampai mendesak pemerintah mengharmonikan tata ruang dengan daya dukung ekosistem, sementara Siswono Yudhohusodo dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia mengingatkan naiknya penduduk miskin pedesaan yang memang hidupnya ditentukan ketersediaan lahan pertanian.

Tak semua lahan potensial itu subur. Organisasi Pangan Dunia (FAO) bahkan cuma menaksir 20,5 juta hektar. Ini pun belum tentu produktif, padahal produktivitas lahan akan menjamin pangan tetap tersedia bagi penduduk yang terus bertambah itu.

"Produktivitas lahan pertanian Indonesia masih rendah, hanya 4,2 ton per hektar," kata Zainal Abidin, Dirjen Industri Kimia Agro dan Hasil Hutan Deperindag (kini Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kemeteriaan Perindustrian), seperti dikutip ANTARA, April 2008 lalu.

Makanya, Indonesia harus cepat merevitalisasi sektor pertanian secara menyeluruh, diantaranya dengan ekstensifikasi pupuk majemuk.

Di luar mekanisasi pertanian dan perluasan lahan, posisi pupuk memang sangat penting. Tak ada satu negara pun, termasuk China, AS atau Brazil yang lahan pertaniannya amat luas, bisa menahan laju konversi lahan pertanian.

Penduduk yang terus bertambah pasti menuntut eksploitasi lahan, dari untuk industri sampai untuk permukiman. Konsekuensinya, luas lahan produktif terkikis.

Dalam kontek ini, pupuk menjadi jawaban, karena pupuklah yang menjaga tanah yang kian sempit itu tetap produktif dan berkualitas sehingga kebutuhan pangan nasional tercukupi.

Pupuk, mengutip Agricultural Product India, membuat produktivitas bersih pertanian meningkat tajam dan menaikkan kesuburan tanah. Bahkan kawasan gersang seperti Afrika Subsahara mengakui hal ini.

"Tak ada satu pun negara yang bisa menaikkan pertumbuhan pertanian dan memerangi kelaparan, tanpa memanfaatkan pupuk," demikian laporan International Fertilizer Development Center, AS.

Agronom terkemuka peraih Nobel Perdamaian, Norman Borlaug, lebih tegas lagi, "Tak mungkin memberi makan 6,6 miliar penduduk dunia tanpa menggunakan pupuk."

Gas

Faktanya, mengutip Fertilizer Institute, di tengah terus menyusutnya lahan subur dunia yang pada 2005 luasnya mencapai 3,5 miliar are, pupuk kimia menanggung 40-60 persen suplai pangan dunia saat ini.

Dalam kurun 42 tahun (1965-2007) di mana luas lahan pertanian menyusut drastis, produksi pertanian malah melonjak dari 0,905 miliar metrik ton menjadi 2,091 miliar metrik ton. Ini salah satunya karena faktor pupuk.

Namun, kendati perannya signifikan dan di tengah harga pangan dunia yang naik 83 persen dalam kurun 2005 - 2008, biaya pengadaan pupuk jauh lebih kecil dibandingkan beban total produksi pangan. Menurut Fertilizer Institute, ongkos pupuk hanya dua persen dari total beban produksi beternak ayam.

Keunggulan ekonomis dan daya manfaatnya yang tinggi inilah yang mestinya membuat Indonesia melihat posisi pengembangan pupuk sebagai sentral dalam menjamin lahan tetap produktif dan terjaminnya ketahanan pangan.

Pupuk itu bersumber dari alam. Pupuk nitrogen misalnya, dihasilkan dengan menangkap nitrogen dari udara lewat reaksi kimia kompleks. Bahan baku utamanya adalah gas alam, bisa juga batu bara dan minyak bumi.

Nitrogen sendiri adalah unsur esensial bagi pertanian, terutama karena menghasilkan protein agar tumbuhan tetap hijau. Unsur itu juga komponen amat penting bagi struktur tanah.

Masalahnya, industri pupuk nasional di mana PT Pupuk Sriwijaya (PUSRI) menjadi ujung tombaknya, menghadapi masalah ketersediaan gas.

PUSRI, menurut Direktur Utama PUSRI Dadang Heru Kodri, terancam terputus pasokan gasnya karena kelangsungan kontrak dengan Pertamina yang berakhir pada 2012, belum terjamin.

"Selain itu kondisi pabrik sekarang sudah tua sehingga kebutuhan gas menjadi lebih tinggi," kata Dadang kepada Komisi VI DPR seperti dikutip ANTARA 10 Maret lalu.

Dadang ingin DPR berinisiatif menjamin perusahaan pupuk utama nasional yang berkapasitas produksi per tahun 2,1 juta ton pupuk ini terus beroperasi, apalagi Sumatera Selatan di mana PUSRI bermarkas, memiliki potensi gas cukup besar.

Bayangkan, dari lima perusahaan pupuk Indonesia, hanya Pupuk Kaltim yang aman pasokan gasnya, karena telah menjalin kontrak selama 10 tahun dengan 17 kontraktornya. Ini tak terjadi di PUSRI, Pupuk Iskandar Muda, Pupuk Kujang, dan Petrokimia Gresik.

Jika soal ini terus dibiarkan, maka PUSRI dan perusahaan pupuk lainnya akan segera ambruk. Yang rugi pasti negara dan rakyat, terutama petani dan sektor perkebunan. Sebagai gambaran, PUSRI mampu menyediakan 2,1 juta ton pupuk atau setengah dari 4,1 juta ton kebutuhan urea bersubsidi secara nasional pada 2007.

Vital

Memang, hasrat melibatkan pemerintah dalam industri pupuk seolah menentang spirit liberalisasi pasar dalam ACFTA kepada mana Indonesia mengikatkan diri. Namun, pemerintah tetap mesti memproteksi industri ini. China saja mengenakan tarif ekspor pupuk yang tinggi antara 100-135 persen agar pupuk bertahan di dalam negeri.

Industri pupuk juga, seperti pernah disebut mantan Ketua Umum Kadin Aburizal Bakrie, mesti dikelola terintegrasi karena industri ini melibatkan banyak sektor. Fokusnya, pemerintah membuat mekanisme untuk membuat harga gas murah supaya industri pupuk bisa menghasilkan pupuk murah sehingga petani mudah mengaksesnya.

Andai petani dan industri pangan mudah mendapatkan pupuk, maka lahan-lahan pertanian dan perkebunan terjaga produktivitasnya sehingga negara bisa menjamin kebutuhan pangan warganya. Artinya, ketahanan pangan tercipta.

Dari sisi perusahaan, kelancaran suplai gas amat mempengaruhi performa industri ini. Gambarannya, pada 2008 PUSRI bisa meningkatkan keuntungan hingga Rp2,11 triliun dari Rp1,5 triliun yang dicapai 2007.

Kinerja baik ini mendorong PUSRI kian percaya diri mengembangkan bisnis dengan diantaranya membangun tiga pabrik berkapasitas total 10.500 ton pupuk per hari di Tanjung Api-api. Pusri juga mampu mengompensasikan kelebihan produksi pupuk ureanya untuk ekspor ke sejumlah negara.

Intinya, persoalan gas adalah titik awal memperkuat industri pupuk nasional yang makin vital posisinya bagi negeri yang kian menyempit lahan pertaniannya namun saat bersamaan semakin membengkak penduduknya ini. Semua pihak, terutama pemangku kebijakan, mesti menyadari hal itu.

Dalam kaitan ini, keperluan mengintegrasikan pengembangan bisnis pupuk dan merevitalisasi pabrik pupuk seperti ditempuh PUSRI mesti dilihat sebagai upaya membangun fondasi bagi tetap penuhnya lumbung pangan nasional sehingga mencipta ketahanan pangan. (*)

Pewarta: Munawar Sidik
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2010