Jakarta (ANTARA News) - Perempuan dalam citra media massa Indonesia digambarkan secara tradisional yaitu "sumur", "kasur", "dapur", kata Maria Hartiningsih, wartawan senior harian Kompas.

Hal itu disampaikan Maria saat menjadi pembicara dalam diskusi "Membincang Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan" di kantor Komnas Perempuan, jalan Latuharhary, Menteng Jakarta, Jumat.

Maria berpendapat citra perempuan pada Orde baru tidak bisa dihilangkan. Pada era itu ada ibuisme negara untuk melawan Gerwani. Pencitraan ibu negara untuk melawan Gerwani yang digambarkan liar. Pada era sekarang pencitraan perempuan mengatasnamakan moral dan agama.

Dalam kesempatan itu Maria juga mengkritisi pemilihan kata dalam pemberitaan mengenai kasus perkosaan dan pelacuran. "Media harus belajar dan mendidik dalam pemilihan kata-kata," kata Maria.

Menurut Maria selama ini kata-kata yang dipilih telah mendiskriminasi perempuan. Sehingga perempuan yang sebenarnya menjadi korban digambarkan sebagai pelatuk kejadian.

Maria memberi contoh pada kasus perkosaan, menggambarkan fisik korban dengan kata "semlohai". Kata itu berkonotasi negatif. Seakan-akan si korban menggoda si pelaku, sehingga terjadi perkosaan.

Dia menegaskan bahwa pencitraan itu merupakan suatu bentuk penindasan terhadap perempuan.

Maria mengutip seorang feminis bell hooks yang mengatakan, penindasan itu menjadi semakin keras ketika pemberitaan menyangkut masyarakat kelas bawah dan berasal dari etnis (dan ras) tertentu. Pembiasan yang terjadi tak hanya menyangkut gender, tetapi juga bias kelas dan bias etnis (dan ras) karena pandangan mengenai superioritas etnis (dan ras) yang masih kuat dalam masyarakat.

Maria mengatakan dalam jurnalistik dikenal istilah "good and bad taste journalism." Pemilihan kata "semlohai" merupakan jurnalisme yang buruk.

Penindasan terhadap perempuan itu tidak lepas dari posisi perempuan yang melekat dalam masyarakat. Seperti yang sudah disebutkan diatas yaitu berhubungan dengan perannya dalam rumah tangga.(ENY/A038)

Pewarta: adit
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2010