Jakarta (ANTARA News) - "Gayus jadi datang nggak sih?" tanya seorang reporter Metro TV, setengah penasaran, setengah becanda. Seorang fotografer menimpali, "Sudah ah, tidur aja dulu, lama nunggunya nanti sore baru datang."

Kedua wartawan belia ini ada di Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta, terminal kedatangan penerbangan luar negeri yang juga terminal khusus maskapai terbesar nasional Garuda Indonesia Airlines.

Bersama puluhan jurnalis lain, kedua jurnalis itu tengah menunggu "primadona berita" pekan ini, Gayus Halomoan P. Tambunan, menginjakkan kakinya lagi di Indonesia setelah kabur ke Singapura.

Berdasarkan jadwal dan keterangan otoritas diplomatik Indonesia di Singapura dan juga Mabes Polri, Gayus akan tiba di bandara Rabu sore itu (31/3) di terminal 2F.

Di beberapa sudut, polisi, termasuk mereka yang berpakaian preman, berjaga-jaga. Beberapa dari mereka sengaja dipasang untuk mengecoh para pemburu berita.

Pengamanan bandara sendiri tak begitu ketat, mungkin polisi tidak ingin terlihat menyolok sehingga mengganggu kenyamanan para penumpang pesawat, baik yang hendak berangkat maupun baru tiba dari luar negeri.

Para penumpang pesawat sendiri asyik antri di pintu pemeriksaan sebagaimana biasa, sebagian lainnya keluar ruang pemeriksaan atau ruang tunggu untuk memulai perjalanannya di Indonesia.

Di sudut lain, sekelompok wartawan berkumpul ribut sendiri. Beberapa diantaranya memasang muka awas cenderung penasaran. Beberapa menenteng kamera foto dan kamera video.

Ada yang bahkan sudah menongkrongi bandara sejak hari masih dibelit pagi, kira-kira enam jam sebelum pesawat pembawa Gayus dari Singapura tiba di Cengkareng.

Sejumlah awak televisi berseragam biru dan merah --dua warna trademark Metro TV dan TV One-- dan seorang fotografer Kompas.com duduk santai depan sebuah restoran cepat saji asal Amerika. Mereka duduk sambil menenteng "instrumen perangnya", kamera foto, kamera video, mikropon, bahkan tripod.

Setiap berapa menit sekali mereka berhubungan dengan ruang redaksi atau studio di kantor mereka. Ada yang setiap beberapa menit rajin on air, mengabarkan langsung suasana bandara. Ada pula yang setiap sekian menit sekali ditelepon redaktur atau produsernya.

Setelah kabar dikirim, mereka biasanya berkumpul lagi dengan para sejawatnya untuk ngobrol dan bertukar canda. Bahan guyonannya, dari soal Gayus, sampai pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka.

Ada yang datang dengan tim lengkap, tetapi banyak juga yang tiba sendirian di bandara. Tentu saja yang terakhir ini adalah para jurnalis non televisi.

Sejumlah lembaga pemberitaan, khususnya Metro TV dan TV One, mengirimkan lebih dari satu tim, lengkap dengan SNG dan OB Van untuk menyiarkan langsung peristiwa dari lokasi liputan.

Mereka semua datang dengan rancangan dan arahan bos mereka, nun jauh dari bandara.

Anastasya Gloria, reporter Metro TV, berbagi sedikit cerita mengenai pengalamannya berberita. Di Metro, katanya, redaksi mengarahkan langsung para reporter ke lokasi peristiwa yang diliput.

"Langsung disuruh ke lokasi, sebenarnya sih enakan yang di pos, soalnya sudah tahu kondisi dan situasi di lapangan," kata perempuan muda berambut sebahu itu sambil anteng membedaki mukanya.

Hawa pengap dan udara panas telah memupurkan polesan bedak di wajahnya. Anastasya, seperti umumnya reporter televisi, dituntut selalu tampil segar dan menarik di depan kamera.

Pos adalah istilah tempat di mana wartawan ditugaskan.

Metro TV, sebut Anastasya, mengikuti perkembangan Gayus begitu nama staf Ditjen Pajak Kementerian Keuangan ini disebut-sebut mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duaji ketika sang jendral polisi ini membeberkan kabar menghebohkan mengenai dugaan makelar kasus dalam sistem penegakan hukum nasional.

Mereka yang di lapangan dengan mereka yang di studio yaitu para produser, harus selalu berhubungan dan kontak. Yang satu menerima perintah, yang satu memberi perintah.

"Selama di lapangan, kami saling berkomunikasi dengan redaktur lewat telepon, untuk instruksi lebih lanjut," katanya.

Pengalaman serupa diutarakan Aulia Riben, reporter TV One. Kata Aulia, produser memerintahkan wartawan ke lokasi peristiwa dan jika ada informasi lebih lanjut akan dihubungi di lokasi itu juga.

"Kan sudah ada seting tempatnya, mau ke mana kek, nanti redaksi bisa menelepon kami di lapangan," ujarnya.

Mengenai arah berita kantornya, Riben menjawab, "Arah berita sih tergantung kepada perusahaan, mau dibawa ke mana pemberitaan ini." Riben mengistilahkan "perusahaan" untuk kebijakan redaksional di lembaga penyiarannya itu.

Lain dengan Doni Setiawan, fotografer Kompas.com. "Kalau arah berita, saya tidak tahu, kan saya wartawan foto," katanya.

Doni mengungkapkan, redaksi foto Kompas menugaskan beberapa wartawan untuk mencari foto. "Kami wartawan foto langsung disuruh ke tempat. Kadang bareng, kadang sendiri, dan sudah tentu harus selalu mengontak redaktur."

Wendra Ajistytama, pewarta foto Jakarta Post yang ditemui selagi mengaso di atas lantai bersandarkan dinding bandara, menyampaikan hal serupa dengan Riben.

Tidak ada rapat redaksi terlebih dahulu, katanya. Langsung diarahkan ke lokasi liputan. Redaktur berita harus siap memberi instruksi setiap saat kepada fotografer.

"Langsung aja disuruh, kamu ke sini, kamu ke sana. Ya, kita harus siap ke mana saja. Ini saja saya dari lokasi lain, langsung disuruh ke sini," kata Wendra.

Tiba-tiba Wendra bangkit dari duduk santainya, bergegas naik tangga, melanglangbuana di lantai dua terminal F, untuk kemudian balik kembali. "Duh Gayus datangnya atas atau bawah ya? Coba ah ke atas lagi," katanya penasaran.

Beberapa menit kemudian, beredar kabar Gayus sebenarnya telah turun pesawat dan "disembunyikan" polisi di satu ruangan di bandara. Eh, kabar ini ternyata bohong. Bagaimana tidak, pesawat yang ditumpangi Gayus belum sampai di langit Jakarta.

Sejam kemudian, jurnalis dikabari bahwa pesawat pembawa Gayus telah tiba di bandara. Serempak semua mengerubungi pintu 2F. Muncul lagi kabar, Gayus akan keluar dari pintu 2E. Sontak puluhan wartawan, termasuk Wendra, berbalik lari dari 2F ke 2F. Eeh, kabar ini ternyata hanya kabar burung.

Wendra pun ngedumel, "Aduh yang benar yang mana sih?" (*)

editor: jafar sidik

Oleh Adam Rizal
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2010