Jakarta (ANTARA) - SARS-CoV-2 menggunakan sel-sel epitel, terutama sel-sel epitel paru-paru, untuk sarana perkembangbiakan. Selama proses replikasi, partikel-partikel virus menginduksi sinyal-sinyal kematian sel untuk membebaskan sitokin-sitokin pro-inflamasi dan DAMPs (danger-associated molecular patterns), yang pada gilirannya dipahami oleh makrofag, monosit, dan neutrofil, diikuti oleh aktivasi sel-sel yang ada, namun tidak berperan aktif (bystander) lainnya dan perkembangan badai sitokin sistemik.

Berdasarkan siklus hidup SARS-CoV-2, maka beberapa golongan obat telah digunakan dalam clinical trials, seperti obat golongan agen lisotropik, inhibitor entri virus, inhibitor neuraminidase, inhibitor protease, inhibitor replikasi RNA, dan sebagainya.

Menurut Bonam SR dkk (2020), ada tiga strategi terapeutik penakluk COVID-19, yakni terapi antiviral, imunoterapi dan inhibitor inflamasi, dan imunomodulator atau imunosupresor non-spesifik. Mari kita bahas satu per satu beserta nama kandidat obatnya.

Pertama, terapi antiviral. Misalnya inhibitor protease (dengan kandidat obat seperti: camostat mesilate, lopinavir atau ritonavir, darunavir atau cobicistat, ASC09, danoprevir, boceprevir, GC376). Inhibitor nucleoside reverse transcriptase (dengan kandidat obat berupa: azvudine, emtricitabine atau tenofovir). Inhibitor neuraminidase (dengan kandidat obat bernama oseltamivir).

Inhibitor RNA polymerase (dengan kandidat obat berupa remdesivir, ribavirin, favipiravir). Inhibitor fusi viral (dengan kandidat obat bernama umifenovir). Inhibitor endonuklease viral (dengan kandidat obat bernama baloxavir marboxil). Inhibitor perlekatan virus (dengan kandidat obat bernama camostat mesylate, nafamostat mesylate).

Kedua, imunoterapi dan inhibitor inflamasi. Misalnya antagonis reseptor Interleukin-1 (dengan kandidat obat bernama Anakinra).

Inhibitor Janus kinase (dengan kandidat obat bernama Baricitinib, Ruxolitinib). Inhibitor TNF (dengan kandidat obat bernama Adalimumab). Anti-VEGF (dengan kandidat obat bernama Bevacizumab). Inhibitor komplemen (dengan kandidat obat bernama Eculizumab). Regulator danger-associated molecular patterns atau DAMPs (dengan kandidat obat berupa CD24Fc). Modulator reseptor sfingosin-1-fosfat (dengan kandidat obat bernama fingolimod atau FTY720).

Inhibitor replikasi viral (dengan kandidat obat berupa interferon beta-1-alfa, rekombinan human interferon alfa-1-beta, alfa-2-beta). Inhibitor entri viral (dengan kandidat obat bernama meplazumab). Antagonis PD-1 (dengan kandidat obat bernama Camrelizumab).

Peptide antiviral (dengan kandidat obat berupa CSA0001). Agonis TLR [dengan kandidat obat berupa PUL-042, asam poliinosinat-polisitidilat (poly I:C)]. Antagonis IL-6 (dengan kandidat obat bernama siltuximab). Antagonis reseptor IL-6 (dengan kandidat obat bernama sarilumab, tocilizumab).

Antagonis granulocyte-macrophage colony-stimulating factor atau GM-CSF (dengan kandidat obat bernama Gimsilumab, TJ003234). Inhibisi respons imun adaptif dan innate inflamasi yang diinduksi SARS-CoV-2 (dengan kandidat obat berupa imunoglobulin intravena atau IVIG).

Neutralisasi virus (dengan kandidat obat berupa imunoglobulin dari pasien yang telah sembuh, plasma konvalesens inaktivasi anti-SARS-CoV-2). Klirens load viral (dengan kandidat obat berupa tatalaksana sel NK, sel-sel NKG2D-ACE2 CAR-NK).

Ketiga, imunomodulator atau imunosupresor non-spesifik. Misalnya terapi seluler (dengan kandidat obat berupa sel stromal mesenkim). Obat golongan steroid (dengan kandidat obat berupa kortikosteroid). Antireumatik (dengan kandidat obat berupa leflunomide).

Penghambat saluran kalsium (dengan kandidat obat bernama tetrandin). Obat antiparasitik (dengan kandidat obat bernama klorokuin atau hidroksiklorokuin, ivermektin). Antibiotik (dengan kandidat obat berupa azitromisin, carrimycin). Semua golongan obat ini telah dievaluasi dalam clinical trials, sebagai kandidat terapi penakluk COVID-19.

Untuk ritonavir, setelah diujicobakan secara in vitro pada sel-sel dendritik yang berasal dari monosit manusia, maka berefek kegagalan maturasi sel-sel dendritik, berkurangnya respons terhadap antigen dan melemahnya proses priming sel-sel NK. Fenotip atipikal dari sel-sel dendritik yang matang, berkurangnya kapasitas stimulatori sel T, dan peningkatan kerentanan terhadap sel NK (Giardino Torchia ML dkk, 2010).

Pada eksperimen in vitro yang serupa dengan ritonavir, tocilizumab berefek induksi fenotip inflamasi dari sel-sel dendritik dengan penguatan ekspresi mIL-6R-alpha dan sekresi bentuk solubel dari reseptor gp130 (Meley D dkk, 2017).


Strategi imunoterapi

Pintu masuk virus SARS-CoV-2 menuju sel-sel induk diperantarai oleh interaksi domain pengikat reseptor (RBD) di protein S di membran luar virus dan ACE2 (angiotensin-converting enzyme 2) di sel. Pelbagai protein ini berpotensi menjadi target potensial utama untuk imunoterapi.

Hasil-hasil yang menjanjikan dalam menarget protein spike pada SARS-CoV oleh antibodi monoklonal membuat para ilmuwan menggunakan mereka sebagai agen penakluk COVID-19. Cocktail antibodi monoklonal atau kombinasi antibodi monoklonal yang berbeda yang mengenali epitop yang berbeda di permukaan virus berpotensi meningkatkan efektivitas netralisasi virus (Shanmugaraj B dkk, 2020).

Target imunoterapi lain untuk COVID-19 yang tampaknya menjanjikan adalah sitokin. Di antara sitokin-sitokin, spesifisitas IL-6 pada COVID-19 berasal dari peningkatan IL-6 yang berkorelasi dengan derajat keparahan akibat inflamasi badai sitokin. Oleh karena itu, menarget IL-6 dan reseptornya (IL6R) melalui siltuximab dan antibodi monoklonal tocilizumab dapat memitigasi simtomatologi terkait badai sitokin pada kasus COVID-19 yang parah (Liu T dkk, 2020).

Meskipun telah tercapai kemajuan besar dalam perkembangan imunoterapi pasif berbasis antibodi monoklonal untuk infeksi virus corona, belum ada antibodi monoklonal yang dipasarkan. Apa yang membatasi penggunaan antibodi adalah bahwa produksi antibodi monoklonal skala besar untuk aplikasi klinis melelahkan, mahal, dan lama.

Jadi merancang dan mengembangkan platform produksi protein canggih serta sistem ekspresi amatlah penting untuk menyediakan antibodi monoklonal yang efisien dengan biaya terjangkau dalam waktu singkat (Jafari AA, Ghasemi S, 2020).

Tatalaksana pertama untuk COVID-19 adalah terapi suportif, meliputi terapi oksigen, dukungan ventilator mekanis untuk pasien dengan gagal napas, antibiotik untuk pencegahan infeksi bakteri sekunder, dan manajemen cairan tubuh (Xu K dkk, 2020). Kunci pengendalian infeksi SARS-CoV-2 sebenarnya terletak pada maturasi protein S, identifikasi sel-sel target, serta pintu masuknya sel virus. Meskipun semua fase ini telah diinvestigasi, namun hingga kini, semua tatalaksana belum ada yang memenuhi harapan.


Sel dendritik

Pada Tahun 1973, sel-sel dendritik pertama kali dideskripsikan oleh Ralph Steinman. Saat itu Steinman sedang menyelesaikan pendidikan postdoktoral di laboratorium Zanvil A Cohn. Ia menemukan sel-sel ini di limpa dan kemudian mengetahui bahwa sel-sel dendritik dapat ditemukan di semua jaringan limfoid dan tersering di non-limfoid. Di tahun 2011, ia dianugerahi hadiah Nobel di bidang Fisiologi-Kedokteran.

Sel dendritik adalah sel-sel sistem imun spesial, berbentuk mirip bintang, dijumpai di jaringan, seperti kulit, dapat meningkatkan respons imun melalui antigen di permukaannya ke sel-sel lain pada sistem imun, dan dapat bertindak sebagai penyusun atau pengatur antigen yang berada di sel-sel. Sel-sel dendritik juga dapat dijumpai di hidung, paru-paru, saluran pencernaan, dan kulit. Di kulit, sel-sel dendritik disebut sebagai sel-sel Langerhans.

Sel dendritik berasal dari sel punca hematopoietik CD34+ di sumsum tulang, terdiri atas kumpulan subset yang berbeda secara perkembangan dan fungsional yang mengatur fungsi sel T. Sel-sel dendritik dapat berperan di berbagai penyakit infeksius, kanker, dan autoimunitas.

Sel-sel dendritik merebut dan membersihkan antigen asing, mentransportasikan beragam tipe-tipe sel dari sistem imun untuk memproduksi antibodi. Sel-sel dendrit menterminasi sejumlah reaksi resisten seperti penajaman sel-sel T terbatas-MHC, penolakan transplantasi organ, dan perkembangan antibodi T-ward.

Fungsi utama sel-sel dendritik untuk memproses material antigen dan memunculkan di permukaan sel-sel sistem imun lainnya, sehingga berfungsi sebagai APC (antigen-presenting cells). Di antara APC, sel-sel dendritik merupakan inducer yang paling mampu berfungsi sebagai respon imun adaptif. Olehnya itu, sel-sel dendritik bertindak sebagai jembatan penghubung antara respons imun adaptif dan innate.

Di dalam proses infeksi, sel-sel dendritik memakan bakteri antigen di kulit dan kemudian berpindah memasuki drainase pembuluh limfe (kelenjar getah bening). Sel-sel dendritik membawa antigen memasuki drainase kelenjar limfe, di mana mereka menempati area sel-T.
Sel-sel dendritik berperan di dalam penyakit infeksi, seperti: menginduksi resistensi terhadap infeksi.

Ketika antigen mikrobial disuntik berkenaan dengan sel-sel dendritik ke mencit, hewan coba memperoleh kekebalan adaptif terhadap Leishmania major, malaria, HIV, Toxoplasma gondii, Borrelia burgdorferi, Chlamydiae, jamur. Konsep inti berupa matangnya sel-sel dendritik sebagai respons terhadap berbagai komponen mikrobial yang berbeda.

Pada manusia, kekurangan sel-sel dendritik selama proses sepsis bakterial dan infeksi virus dengue berkenaan dengan buruknya prognosis. Beragam patogen dapat mengubah kadar fisiologi sel-sel dendritik untuk menghindari respons imun. Agen Salmonella typhi, Yersinia pestis, secara selektif menyuntikkan toksin ke fagosit, termasuk sel dendritik, dan merusak sel-sel yang diperlukan untuk proteksi innate dan adaptif.

Campak, influenza, dan HSV-2 dapat menginduksi apoptosis (kematian sel) di sel-sel dendritik. Berbagai mikroorganisme memiliki kapasitas untuk secara aktif menghambat pematangan sel-sel dendritik, seperti: campak, CMV, Ebola, HCV, HIV, Plasmodia, Salmonella typhi, Mycobacterium ulcerans.

SARS-CoV-2 secara negatif memengaruhi jumlah dan fungsi sel dendritik. Peningkatan ekspresi DC-SIGN berperan di dalam proses patogenesis infeksi SARS-CoV-2 yang parah, terutama pada lansia. DC-SIGN merupakan reseptor lektin tipe-C yang ada di permukaan sel-sel dendritik dan makrofag.

Ketidakberhasilan proses switch dari imunitas innate ke adaptif selama infeksi SARS-CoV berkorelasi dengan pemburukan outcome. Oleh karena itu, ketidakmampuan sel-sel dendritik untuk menjembatani kedua proses itu penting dalam patogenesis COVID-19. Supresi jumlah sel dendritik dan sinyal IFN, ditambahkan ke gangguan progresi dari imunitas innate ke adaptif, tampaknya merupakan strategi evasi penting dari SARS-CoV-2.


Vaksin sel dendritik

Sel dendritik dapat dikembangkan menjadi vaksin. Vaksin sel dendritik seluruh-sel bergantung kepada maturasi eksogen dan/atau ekspansi sel dendritik yang berasal dari monosit atau prekursor sel dendritik konvensional (cDC), meskipun sebagian besar trial menggunakan moDC (sel dendritik yang berasal dari monosit) karena langkanya ketersediaan cDC atau pre-DC.

Semua sel ini diisolasi dari darah tepi pasien, mengandung lysate tumor atau antigen tumor dan dimatangkan menggunakan berbagai koktail sitokin. Lysate tumor adalah suatu antigen vaksin yang efektif untuk stimulasi fungsi sel T CD4+ dan induksi subsekuen imunitas antitumor yang diperantarai oleh sel-sel T CD8+.

Vaksin sel dendritik seluruh sel (whole cell) memiliki toksisitas terbatas sehingga dipertimbangkan menjadi pendekatan terapeutik yang relatif aman dan secara ekstensif dievaluasi di klinik. Formulasi vaksin multipel dapat memicu peningkatan respons sel T spesifik antigen. Keberadaan respons imun tidak berkorelasi dengan kemujaraban klinis, dengan rerata respons secara umum antara 8-15% pada trial tunggal.

Satu-satunya vaksin sel dendritik seluruh sel yang disetujui oleh FDA hingga sekarang adalah sipuleucel-T, yang terdiri dari kultur sel mononuklear darah tepi terisolasi dengan suatu protein fusi asam fosfatase prostatik/faktor stimulasi koloni makrofag-granulosit. Persetujuan ini sebagai tatalaksana penyebaran (metastasis) kanker prostat berdasarkan peningkatan 4,1 bulan dalam kelangsungan hidup secara keseluruhan tanpa penundaan yang menyertai perkembangan penyakit.

Sipuleucel-T adalah terapi vaksin sel dendritik pertama yang disetujui FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat di bulan April 2010 untuk pengobatan kanker prostat metastatik. Ini adalah vaksin berbasis sel dendritik berdasarkan ko-kultur darah yang diperkaya APC (antigen-presenting cells) yang dikumpulkan menggunakan leukaferesis (pemisahan sel darah putih dari sampel darah di laboratorium), dengan asam prostat fosfatase (PAP) yang menyatu dengan faktor perangsang koloni makrofag granulosit (GM-CSF), selama 36-44 jam.

Produk ini berhasil meningkatkan rerata kelangsungan hidup hingga empat bulan. Namun, uji klinis belum menunjukkan signifikansi pengurangan ukuran tumor atau penghentian perkembangan tumor (Perez R dkk, 2020).

Menggunakan kriteria RECIST (evaluasi respons tumor padat), hanya satu kasus dengan beberapa hasil yang lebih baik. Penurunan kadar antigen spesifik prostat menjadi setengahnya di sekitar 2,6 persen pasien yang menerima Sipuleucel-T dibandingkan dengan 1,3 persen yang menerima plasebo, dipandang sebagai efek signifikan oleh FDA karena terbatasnya pilihan pengobatan (Mellman I dkk, 2011).

Beberapa clinical trials menggunakan vaksinasi berbasis sel dendritik telah diujicobakan di berbagai tipe kanker (Shang J dkk, 2020). Misalnya: kanker payudara (fase 1 dan 2), melanoma metastatik (fase 2), kanker prostat (fase 1 atau 2), kanker ginjal (fase 2), kanker paru-paru (fase 1 atau 2).

Keamanan vaksin merupakan problematika berkepanjangan. Vaksin sel dendritik ternyata memiliki efek samping yang perlu diperhatikan. Misalnya: demam, infeksi saluran pernapasan bagian atas, batuk, batuk darah, ulserasi atau luka gesek di mulut, tenggorokan, lidah, perdarahan gusi, epistaksis (mimisan).

Bagaimanapun juga, riset tambahan yang berfokus terhadap pemahaman akan interaksi sel dendritik - SARS-CoV-2 serta peran sel ini dalam patogenesis COVID-19 perlu diteruskan, sehingga menjadi sarana menuju perkembangan vaksin dan terapeutik efektif untuk mengatasi infeksi SARS-CoV-2.

*) Dr Dito Anurogo MSc adalah staf pendidik di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, kini sedang studi S3 di International PhD Program for Cell Therapy and Regeneration Medicine (IPCTRM) College of Medicine Taipei l lr (TMU) Taiwan.
 

Pewarta: dr. Dito Anurogo, MSc *)
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2020