Jakarta (ANTARA) - Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 mengatakan sosialisasi perubahan perilaku merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menekan laju penularan COVID-19 di Indonesia.

"Kami sangat memahami bahwa pada awalnya mengubah sebuah perilaku dan mengadaptasi perilaku lain, tidaklah mudah. Namun bukan tidak mungkin," kata Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito melalui keterangan pers yang diperoleh ANTARA di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan bahwa dalam penanganan pandemi COVID-19 selama 2020, salah satu tantangan berat yang dihadapi pemerintah adalah aspek perubahan perilaku.

Karena COVID-19 pada dasarnya merupakan penyakit yang sangat erat hubungannya dengan perilaku masyarakat, maka pengamatan terhadap perilaku masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan sangat dibutuhkan.

Untuk itulah, pemerintah telah membuat sistem monitoring Bersatu Lawan COVID-19 (BLC) Perubahan Perilaku untuk menekan penularan dan mengendalikan pandemi COVID-19.

Wiku menjelaskan bahwa peluang transmisi penularan virus SARS-CoV-2, penyebab COVID-19, dipengaruhi kedisiplinan menjalankan protokol kesehatan.

Untuk itu pemerintah telah menerapkan operasi yustisi untuk menegakkan peraturan disiplin protokol kesehatan. Dan bagi masyarakat yang tidak patuh, mereka akan dijatuhi sanksi.

Hal itu mengacu pada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian COVID-19.

Dalam Inpres, pemerintah daerah dengan menjalankan prinsip desentralisasi mampu menjalankan tugasnya menyelenggarakan operasi yustisi dan operasionalnya dapat disesuaikan menurut karakteristik daerah masing-masing.

Sementara pemerintah pusat, kata Wiku, tetap memonitor pelaksanaan pengawasan kepatuhan protokol kesehatan, khususnya di titik-titik rawan keramaian, seperti tempat ibadah, tempat olahraga publik, restoran atau kedai, warung, tempat wisata, pasar tradisional dan mal.

Dalam mengawasi kepatuhan, pemerintah menggunakan sistem monitoring BLC. Sistem itu dilaksanakan melalui pengawasan yang dilakukan para partisipan mulai anggota TNI/Polri/Satpol-PP, relawan dan petugas Satuan Tugas COVID-19 daerah.

Titik pengawasannya tersebar pada 512 kabupaten/kota. Dan dari jumlah itu, 20,6 persen tercatat patuh dalam memakai masker dan 16,9 persen patuh dalam menjaga jarak dan menjauhi kerumunan.

"Nyatanya, kepatuhan masyarakat yang rendah dalam memakai masker dan menjaga jarak menjadi kontributor dalam peningkatan penularan COVID-19," lanjut Wiku.

Sementara itu, tingkat kepatuhan ternyata membawa dampak pada kenaikan kasus COVID-19 beberapa waktu terakhir di Indonesia. Untuk itu, Wiku meminta data tersebut dapat dijadikan refleksi dalam meningkatkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan pada Tahun 2021.

"Oleh karena itu, mari kita tingkatkan kepatuhan dalam memakai masker dan menjaga jarak sehingga dapat menghindari potensi penularan yang terjadi," kata Wiku.

Lebih lanjut, Wiku juga mengingatkan bahwa penyumbang kasus positif COVID-19 berasal dari kota-kota besar di pulau Jawa. Karena itu peningkatan kasus di kota-kota besar di Pulau Jawa harus bisa dikendalikan, sehingga kondisi kasus COVID-19 secara nasional dapat menurun dengan drastis. Hal itu, tentunya akan membawa manfaat bagi produktivitas masyarakat, kembali seperti semula.

Untuk itu para pimpinan daerah diminta serius menangani perkembangan kasus COVID-19 di daerahnya karena hal itu akan bermanfaat besar bagi penanganan pandemi COVID-19 secara nasional.

Pewarta: Katriana
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2021