Pamekasan (ANTARA News) - Hamaim Masnun (5), balita asal Desa Betet, Kecamatan Kota, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, yang menerita gizi buruk sejak berumur 4 bulan akhirnya gagal mendapatkan perawatan medis.

"Keluarganya memilih untuk tidak dirawat dengan alasan tidak punya biaya hidup di Surabaya," kata Humas Rumah Sakit Daerah (RSD) Pamekasan, dr Iri Agus Subaidi, di Pamekasan, Minggu.

Ia menjelaskan, pihak rumah sakit Pamekasan rencananya akan merujuk anak tersebut ke rumah sakit dr Soetomo di Surabaya, karena kondisinya sudah sangat parah, sedang di Pamekasan kekurangan peralatan medis dan dokter spesialis.

Balita dengan berat badan 6,5 kilogram anak dari pasangan suami istri Urib Hasbullah dan Siti Romlah ini dirujuk ke RSD Pamekasan pada 2 Juni lalu. Setelah tim dokter melakukan pemeriksaan, pihak rumah sakit akhirnya memutuskan agar dirawat di Surabaya saja.

"Tapi itu tadi, pihak keluarga tidak bersedia. Kami juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena program Jamkesmas dari pemerintah ini hanya berupa pengobatan saja, tidak dengan biaya hidup selama di Surabaya," kata dr.Iri Agus Subaidi.

Menurut paman Hamain Masnun, Bambang Widiatmono, ia memilih untuk tidak dirujuk ke Surabaya, memang karena alasan biaya hidup.

"Kalau dirawat di Surabaya lalu bagaimana dengan biaya hidup di sana. Kalau di Pamekasan ini kan bisa datang dengan naik sepeda, kalau di Surabaya bagaimana, biaya makan saja tidak cukup Rp30.000,00 ribu sehari," kata pria yang kesehariannya berjualan rujak manis ini.

Oleh sebab itu, sambung Bambang, dirinya memutuskan untuk tidak membawa keponakannya itu ke Surabaya. Apalagi, sambung pria ini, Hamaim Masnun selama ini hanya tinggal dengan dirinya dan neneknya, Samiah.

Saat lahir Hamaim lahir kondisinya normal sebagaimana bayi sehat pada umumnya, dengan berat badan, 3,3 kilogram. Namun setelah berumur empat bulan, ia sering sakit hingga badannya kurus kering.

Sejak Hamaim sakit-sakitan ia tidak lagi bersama kedua orangtuanya. Ayahnya Urib dan ibunya Siti Romlah memilih pergi ke Malang menjadi pemulung untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Meski kedua pasangan suami istri ini hanya memiliki satu anak, namun kehidupan ekonomi mereka sangat memprihatinkan.

"Kini kami hanya bisa pasrah dan berupaya mencarikan pengobatan alternatif saja di sini," kata Bambang Widiatmono.

Data yang dirilis Gerakan Antipemiskinan Rakyat Indonesia (Gapri) belum lama ini menyebutkan, balita yang terdata terserang gizi hingga 2008 saja sudah tercatat sebanyak tujuh orang dan satu diantaranya meninggal dunia.

Kondisi semacam ini telah menempatkan Kabupaten Pamekasan sejajar dengan sejumlah kabupaten tertinggal lainnya di Indonesia, seperti Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan yang menyebutkan jumlah balita yang menderita gizi buruk sudah di atas 20 persen.

Sementara data yang dilaporkan Dinas Kesehatan setempat tidak menyebutkan sama sekali jumlah warga yang menderita gizi buruk, kecuali balita kekurangan gizi, yakni 2,18 persen, meski fakta di lapangan memang ada balita menderita gizi buruk dan belum mendapatkan perawatan medis.

Selama Januari hingga minggu pertama Juni ini saja, balita yang dirawat di RSD setempat sudah mencapai 11 orang, termasuk Hamaim Masnun (5). (ZIZ/K004)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010