Jakarta (ANTARA News) - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang hukum dan ketatanegaraan, Jimly Asshiddiqie, mengaku sulit menolak pencalonan dirinya oleh Forum Rektor untuk menjadi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) demi menyelamatkan institusi KPK.

Menurut Jimly di ruang kerjanya Gedung Wantimpres, Jakarta, Rabu, sebenarnya ia sudah beberapa kali menyatakan diri menolak untuk dicalonkan menjadi pimpinan KPK menggantikan Tumpak Hatorangan Panggabean.

Alasannya, kata Jimly, karena ia baru saja menjabat anggota Wantimpres dan telah menandatangani kontrak kinerja yang diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Saya diangkat Wantimpres ini baru, pakai teken kontrak politik segala. Masa sudah dikasih tugas di sini cari kerjaan di tempat lain?" ujarnya

Namun, Jimly mengatakan, ia sulit mencari alasan menolak usulan forum rektor apabila pencalonan dirinya itu demi menyelamatkan institusi KPK.

"Selalu saya bilang saya tidak bersedia, tidak berminat. Tapi kalau untuk misi penyelamatan kayanya agak sudah ditolak. Lembaga ini hancur, harus diselamatkan," tuturnya.

Padahal, lanjut dia, hanya ada dua lembaga di Indonesia yang menjadi ikon keberhasilan reformasi, yaitu KPK dan Mahkamah Konstitusi (MK).

"KPK saya rasa harus perlu diselamatkan," ujar Jimly yang mantan Ketua MK itu.

Meski demikian, kata Jimly, tidak mudah baginya untuk mencalonkan diri menjadi pimpinan KPK mengikuti usulan Forum Rektor karena ia terlebih dahulu harus meminta pendapat dari Presiden menyangkut statusnya sebagai anggota Wantimpres.

Kepada Forum Rektor yang telah menghubunginya menyangkut usulan itu, Jimly mengaku memberi jawaban senada.

Selain Jimly, Forum Rektor mengusulkan empat nama lain untuk menjadi calon pimpinan KPK, yaitu Ketua MK Mahfud MD, ahli hukum Saldi Isra dan Hikmahanto Juwana, serta Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas.

Menurut Forum Rektor, lima orang tersebut dinilai memiliki kapasitas, pengalaman, keahlian, serta rekam jejak memadai untuk memimpin KPK.
(D013/A024)

Editor: AA Ariwibowo
COPYRIGHT © ANTARA 2010