Semarang (ANTARA News) - Pengamat hukum Universitas Diponegoro Semarang, Profesor Arief Hidayat menilai asset partai politik (parpol) yang terbukti berasal dari aliran dana korupsi seharusnya "dibekukan" sampai proses hukumnya selesai.

"Jika dalam proses hukum yang berjalan, parpol terbukti menerima aliran dana korupsi berdasarkan bukti-bukti yang ada, aparat penegak hukum dapat membekukan aset partai yang bersangkutan hingga kasus tersebut tuntas ditangani," katanya di Semarang, Rabu.

Menurutnya, pembekuan aset dilakukan agar tidak menghambat proses penyelidikan kasus dugaan korupsi tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Partai Politik, katanya, parpol tidak boleh menerima aliran dana hasil tindak pidana korupsi ataupun bantuan negara lain.

"Pengurus parpol yang terbukti menerima aliran dana korupsi juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu.

Ia mengakui, hingga saat ini belum ada putusan pengadilan (yurisprudensi) di Indonesia dalam hal pembekuan aset parpol yang terbukti menerima aliran dana korupsi saat kampanye pemenangan salah satu pasangan kepala daerah dan penggalangan massa pendukung pihak tertentu.

Tujuh partai politik diduga menerima aliran dana korupsi pembangunan perumahan bersubsidi Griya Lawu Asri di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, dengan jumlah ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Parpol itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Pelopor.

Parpol penerima aliran dana korupsi adalah pengusung calon Bupati-Wakil Bupati Karanganyar, Rina Iriani-Paryono, saat pemilihan kepala daerah 2008. (*)

KR-WSN/M029/AR09

Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2010