Jakarta (ANTARA News) - Tidak ada lagi berita kekerasan dan prilaku agresif yang tidak perlu dalam masa pengenalan siswa baru di sekolah-sekolah Indonesia, setidaknya itu terjadi di SMA Negeri 4, Jakarta.

Masa pengenalan yang belakangan ini lazim disebut Masa Orientasi Siswa (MOS) sekarang lebih mengentalkan upaya mendekatkan siswa ke sekolah, ketimbang ekspos kekerasan para siswa angkatan terdahulu (senior) terhadap siswa-siswa baru sebuah sekolah.

MOS, setidaknya menurut banyak kalangan di SMA Negeri 4, Gambir, Jakarta Pusat, dianggap perlu sebagai sarana mengenalkan lingkungan dan prasarana sekolah kepada siswa baru, sekaligus menjadi kanal untuk mengindari budaya kekerasan di sekolah.

"MOS itu perlu untuk penyesuaian, tetapi kekerasan memang sering terjadi di luar sekolah. Kalau sudah begitu, bukan lagi tanggung jawab sekolah dan tidak ada hubungannya dengan MOS," kata Adhistya (26), alumnus SMAN 4 Gambir yang kini mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Kristen Indonesia, Salemba.

MOS sendiri adalah kegiatan legal yang dinaungi oleh payung hukum sehingga sekolah tidak bisa tidak menyelenggarakannya.

Mengutip Wakil Kepala SMAN 4 Gambir Benjamin Saragih, MOS digelar berdasarkan surat edaran Dirjen Pendidikan Tinggi No 1383/C-C4/MW 2010 yang isinya mengatur upaya menghindari tindak kekerasan atau "bullying" di sekolah-sekolah.

Di SMAN 4 Gambir sendiri, demikian Benjamin, "Tidak pernah ada kasus (pelanggaran), baik itu bullying maupun kekerasan."

Menurutnya, MOS diperlukan karena siswa baru harus mengetahui tata krama tempat baru dalam mana guru mengenalkan visi misi kepada siswa, di samping oleh siswa senior yang mengenalkan kegitatan ekstrakurikuler sekolah yang itu pun diawasi ketat guru.

Di banyak sekolah, salah satunya SMAN 4 Gambir, manajemen sekolah mengeluarkan tata tertib yang mesti ditandatangani siswa yang diantara isinya menyatakan jika siswa melakukan pelanggaran maka bobot poin mereka diturunkan dalam skala 1-100.

Jika kekerasan terjadi dalam lingkungan sekolah, maka bidang kesiswaan akan membina kembali siswa yang melanggar dengan memberinya nasehat dan peringatan sesuai bobot kesalahannya.

Benjamin mengakui pola pengajaran saat ini berubah dan psikologi anak era sekarang pun berubah sehingga sekolah harus konsisten berpegang pada peraturan yang berlaku.

"Kini kita hanya berbuat bagaimana asalkan anak senang," terangnya.

Sementara para siswa mempunyai kiat-kiatnya sendiri dalam menghindari kekerasan, tergantung pada pilihan cara siswa menghindari kekerasan tersebut.

Shandy Cecilia (17), siswi SMAN 4 kelas 12 IPA misalnya. Dia mengaku menghindari tindakan kekerasan di sekolah dengan menjaga jarak dari kakak kelasnya, sembari menaruh hormat pada mereka.

Seperti umumnya siswa dan kalangan guru, mereka juga melihat MOS penting dalam kerangka pengembangan potensi dan adaptasi mereka dengan kondisi sekolah.

"MOS itu penting untuk pengetahuan seputar lingkungan sekolah, tapi kalau kekerasannya harus dihapuskan," kata Kathleen Marylin (17), siswi SMAN 4, kelas 12 IPA.

Lain halnya dengan Muhammad Irwin Kaswara, siswa kelas 12 IPA. Dia mengaku pernah bersekolah di SMA yang dinobatkan sebagai sekolah percontohan "anti bullying", tapi faktanya di sekolah itu kekerasan tetap terjadi.

Dengan tegas Irwin menilai kekerasan dalam sekolah melanggar HAM dan jika itu menimpa padanya, dia bersumpah akan melaporkannya ke polisi.

"Saya pernah dipaksa oleh kakak kelas tidak boleh pulang karena mau diajak tawuran," ujarnya

Seperti kebanyakan siswa, Irwin menilai MOS tak ada hubungannya dengan bullying dan kekerasan, karena program itu berada di bawah kewenangan sekolah.

Masyarakat sendiri cukup positif memandang MOS karena mereka menganggapnya itu sebagai sarana pengenalan siswa, kendati mereka mengakui di masa lalu kegiatan seperti ini sering disalahmengertikan oleh siswa.

"Jangan sampai kekerasan mewarnai lagi kegiatan seperti itu," kata Andi Prasetya, karyawan swasta yang bekerja di daerah Cikini, Jakarta Pusat.

Sementara Dewi Lestari, ibu rumahtangga, menilai MOS aman jika diawasi ketat guru, sebaliknya kalau diserahkan begitu saja kepada siswa-siswa lebih senior, maka kekerasan dan bullying bisa saja terjadi.

Meski begitu, Dewi mengakui kegiatan itu sudah banyak berubah dan lebih diarahkan ke hal-hal kreatif dan positif. (*)

editor: jafar sidik

Oleh Yudha Pratama
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2010