Jakarta (ANTARA News) - Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Nasional, Ali Akbar, mengatakan, perdagangan karbon tidak menjamin pengurangan dampak pemanasan global.

"Perdagangan karbon bukan jalan terbaik untuk mengurangi dampak pemanasan global, melainkan menurunkan daya konsumsi masyarakat," katanya dalam acara diskusi yang bertema "Carbon Trading, Siapa Untung?" di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, perdagangan karbon yang merupakan salah satu isi Protokol Kyoto tersebut justru akan merugikan negara berkembang yang memiliki hutan tropis penghasil karbon.

Perdagangan karbon, katanya, dapat memberikan dampak pada wilayah konservasi di negara berkembang termasuk Indonesia seperti swastanisasi hutan negara, marginalisasi posisi rakyat, dan penyerahan kawasan dalam jangka panjang.

Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdagangan yang sudah distandardisasi.

Senada dengan itu, pembicara lainnya Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ali Masykur Musa mengatakan, jika semua negara berkembang pemilik hutan tropis memasuki pasar karbon, bisa dipastikan harga karbon akan jatuh.

Sehingga, lanjutnya, target pengurangan emisi karbon tidak akan tercapai.

"Perdagangan karbon lebih banyak merugikan negara berkembang," ujarnya.

Ali mengatakan, dalam beberapa hal perdagangan karbon sama sekali tidak berkaitan dengan upaya penanggulangan krisis bumi.

Ia menilai, Indonesia boleh saja ikut serta dalam agenda tersebut namun dengan beberapa syarat yang di antaranya menyiapkan infrastruktur kebijakan dan kelembagaannya.

Selain itu, tambahnya, dengan meningkatkan posisi tawar-menawar dan tidak menjadikan perdagangan karbon sebagai bisnis baru dengan mengabaikan agenda penyelamatan lingkungan hidup.

Perdagangan karbon merupakan salah satu isi Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi sebagai dampak dari pemanasan global. (PSO-006/K004)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010