Jakarta (ANTARA News) - LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) mendukung berbagai materi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Pencucian Uang karena dinilai akan memperkuat KPK dalam memberantas korupsi di Tanah Air.

"Menurut catatan ICW, setidaknya ada empat pasal yang bisa memperkokoh kerja KPK," kata Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Febri Diansyah, di Jakarta, Jumat.

Febri Diansyah memaparkan, empat pasal dalam RUU Pencucian Uang yang dinilai akan memperkuat KPK adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 76 ayat (1) huruf b, Pasal 79, dan Pasal 80.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi, "Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana (a) korupsi (b) penyuapan".

Sementara Pasal 76 ayat (1) huruf b adalah penyelidik terdiri atas penyelidik tindak pidana asal (dengan keterangan: untuk tindak pidana korupsi, penyelidik tindak pidana asal adalah KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian.

Sedangkan Pasal 79 berbunyi, "Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal".

Terakhir Pasal 80 adalah dalam hal tindak pidana asal menemukan indikasi pencucian uang, maka penyidik tersebut menggabungkan penyidikan pencucian uang dengan tindak pidana asal.

Dengan kata lain, sejumlah pasal tersebut sama saja menyatakan, jika KPK menangani kasus korupsi yang menggunakan sarana perbankan, maka kasus itu dapat digabung (tindak pidana korupsi dan pencucian uang), tanpa harus menunggu dari pihak kepolisian.

ICW menilai, penguatan peran KPK dalam RUU Pencucian Uang itu sangat berarti karena uang hasil korupsi seringkali menggunakan sarana perbankan yang berbelit-belit sehingga sulit dirampas kembali oleh negara.

Hal itu mengakibatkan pengembalian kerugian keuangan negara menjadi sangat minim padahal korupsi di sektor ekonomi sangat merugikan keuangan negara.

Selain itu, menurut Febri, seringkali KPK tidak bisa menangani pencucian uang meskipun terkait dengan korupsi karena masih terdapat pembatasan kewenangan.

"Akan lebih baik jika KPK juga bisa menangani pencucian uang dengan catatan tindak pidana asalnya adalah korupsi," katanya.

Hal tersebut, lanjutnya, tentu saja dengan tujuan agar penyelamatan kerugian keuangan negara dapat berjalan secara lebih efektif.

Ia juga mengingatkan, dari 2.442 transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebagian besar adalah karena tindak pidana asal korupsi.

Secara terperinci, dari 2.442 transaksi mencurigakan tersebut, 1.030 berasal dari tindak pidana korupsi, 571 penipuan, 162 pemalsuan dokumen, 136 kejahatan perbankan, 375 tindak pidana lain, dan 168 tidak teridentifikasi.

(M040/A011/S026)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2010