Jakarta (ANTARA News) - Bencana minyak Teluk Mexico tampaknya menelan biaya jauh lebih besar daripada sekedar pembersihan dan ganti rugi bagi penghasilan yang hilang segera setelah kerusakan ekosistem dikumpulkan, kata seorang ahli terkemuka, Selasa.

Dalam satu wawancara yang dilakukan bersamaan dengan dikeluarkannya laporan yang ditaja PBB mengenai hubungan antara bisnis dan keragaman hayati, ahli ekonomi Pavan Sukhdev mengatakan bencana BP mempertegas perlunya bagi perubahan laut dalam cara "modal alam", yang menjadi tumpuan kesejahteraan manusia diukur dan dinilai.

"Tak terlihatnya masalah ekonomi pada layanan ekosistem dan keragaman hayati --air bersih, air segar, samudra yang sehat, tanah yang subur, iklim stabil-- harus ditangani dengan sungguh-sungguh," kata Sukhdev dalam pembicaraan telepon dari London.

"Kita harus bergerak memasuki masyarakat tempat kekayaan umum dan pribadi diakui sama pentingnya. Namun, hari ini berapa banyak orang yang mengerti `modal alam` sebagai perbadingan dari modal finansial?"

Sebagian masalah tersebut tak mengetahui bagaimana menghargai segala sesuatu yang telah lama dianggap ada dalam jumlah yang tak terbatas.

"Kita tak dapat mengelola apa yang tidak kita ukur, dan kita tak mengukur nilai dari manfaat alam atau harga kehilangan semua itu," kata Sukhdev, penulis utama Economics of Ecosystems and Biodiversity (TTEB) buat laporan Business.

Makin banyak CEO memahami bahwa mereka tidak lagi bisa menjamin layanan "bebas" itu, katanya.

Namun penduduk negara industri dan global yang menuju ke arah jumlah sembilan miliar orang paling lambat pada pertengahan abad ini telah menciptakan keregangan yang luar biasa.

Setiap tahun, 3.000 perusahaan terbesar di dunia menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dengan nilai 2,2 triliun dolar AS (1,75 triliun euro), kata Sukhdev. Ia mengutip laporan perusahaan yang segera disiarkan dan disiapkan oleh konsultan TruCost, yang berpusat di Inggris.

"Bukan perusahaan atau CEO secara perorangan yang harus disalahkan. Mereka mengikutip jalur yang diciptakan buat mereka, yaitu perusahaan dapat menyalurkan semua biaya mereka kepada masyarakat," katanya.

Kebocoran minyak BP, yang telah mengeluarkan sebanyak 60.000 barel minyak mentah ke Teluk Meksiko setiap hari, telah muncul sebagai studi kasus mengenai bagaimana melindungi aset alam yang sangat berharga.

Seandainya pemerintah mengharuskan dilakukannya "penilai ekonomi holistik" sebelum pengeboran diizinkan, potensi pertanggungjawaban mungkin telah mendorong BP untuk melakukan langkah keamanan yang lebih ketat, katanya.

Saat semuanya muncul, "Kita hanya memikirkan semua itu setelah terjadi masalah, lalu bergegas dan pontan-panting" kata Sukhdev. Ia merujuk kepada akibat dari Valdez Exxon, kapal supertanker yang mengotori wilayah Alaska yang dulu murni, Prince William Sound, dengan 11 juta galon minyak.

Sumur minyak BP telah menyemburkan jumlah yang sama setiap empat atau lima hari sejak 20 April, demikian perkiraan pemerintah AS.

Memasang harga pada nilai ekosistem yang terpengaruh juga mengubah perkiraan mengenai kerugian.

"Tetapi bagaimana dengan biaya ekonomi dari hilangnya pemanfaatan --hilangnya ekopariwisata, cadangan ikan, yang merupakan kerugian masa depan bagi industri, tak bisanya menangkap ikan di daerah tersebut," kata Sukhdev.

Minyak itu juga dapat membunuh ratusan kilometer persegi hutan bakau di sepanjang pantai, yang menjadi habitat bagi spesies laut komersial dan penahan terhadap badai yang menghancurkan.

Bahkan ribuan pemilik yacht bisa memiliki klaim yang sah.

"Banyak orang telah menanam modal di kapal pesiar, termasuk biaya berlabuh, orang untuk mengurusnya. Ketika waktunya tiba untuk menggunakannya atau menyewakannya, mereka tak dapat melakukan itu --itu lah kerugian pemanfaatan. Apakah ada orang yang memperhitungkan itu?"

Krisis mengenai ambruknya ekosistem tersebut hanya akan ditangani ketika nilai layanan alam sepenuhnya tercermin di dalam pembuatan keputusan bisnis dan politik, kata Sukhdev.

"Kita setengah jalan ke arah pengembangan peralatan itu. Buat orang yang memahami bahwa peralatan tersebut memang ada dan mesti digunakan, kita berada pada posisi tiga sampai lima dalam skala hitungan 10," katanya.

"Mengenai penerapan sesungguhnya --antara nol dan dua," kata Sukhdev sebagaimana dilaporkan wartawan kantor berita Prancis, AFP, Marlowe Hood.

Laporan TEEB itu, yang didukung oleh Program Lingkungan Hidup PBB, diluncurkan oleh Komisi Eropa pada 2007, setelah G8 dan negara eknonomi utama yang baru muncul menyerukan dilakukannya studi global mengenai ekonomi dan keragaman hayati.

Studi penuh mengenai itu akan diungkapkan pada penghujung tahun ini, dalam Konvensi mengenai Keragaman Hayati di Nagoya, Jepang.(C003/T010)

Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2010