Denpasar (ANTARA News) - Banyaknya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang mendapat penyelesaian secara hukum yang putusan hukumannya ringan sangat mengecewakan publik, dan dikhawatirkan tidak memberi efek jera bagi pelakunya.

"Kami kecewa karena vonis majelis hakim sangat ringan terhadap para pelaku KDRT didominasi kaum laki-laki, padahal dalam UU telah diatur tentang sanksi terhadap pelaku," kata Direktur LBH APIK Bali, Ni Nengah Budawati kepada wartawan, Sabtu.

Ia mengatakan, saat ini banyak kasus yang telah disidangkan di Pengadilan maupun masih dalam proses hukum di kepolisian mayoritas didominasi wanita sebagai korbannya.

Dari catatan LBH APIK Bali, kata Budawati, kasus KDRT di Pulau Dewata dalam sepuluh tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang signifikan.

Peningkatan kasus KDRT itu, lanjut dia, pemicu antara lain terjadinya ketimpangan pemahaman tentang pemberdayaan perempuan antara wanita dan laki-laki.

Ketimpangan dimaksud, kata alumni Fakultas Hukum UNUD ini, ditunjukkan dengan tidak diikutsertakannya laki-laki dalam pembahasan mengenai pemberdayaan perempuan.

"Selain itu, ketidaksiapan laki-laki terhadap pemberdayaan tersebut bisa memicu terjadinya KDRT," paparnya.

Disebutkan sepanjang tahun 2009, terdapat sekitar 858 kasus kekerasan yang sebagian besar pelakunya adalah suami atau pacar korban.

Sementara dalam 2010 hingga akhir April tercatat 170 kasus kekerasan pada perempuan yang masuk ke kepolisian di Bali.

"Kami APIK setiap bulannya rata-rata menerima 15 pengaduan KDRT," sebut dia. Dengan maraknya kasus KDRT itu, maka pihaknya terus melakukan kegiatan sosialisasi ke semua lapisan masyarakat.

"Sosialisasi yang dilakukan LBH APIK kami akui masih belum maksimal. Selain itu ada kendala pendanaan akibat minimnya dukungan anggaran pemerintah daerah," sambungnya.

Berdasar penelusuran LBH APIK, sampai saat ini memperlihatkan Bali hanya menganggarkan Rp200 juta per tahun untuk kasus KDRT melalui lembaga badan P2TP2.

Hanya saja sebagian besar dialokasikan untuk biaya rutin termasuk rapat-rapat, sebaliknya hanya sebagian kecil diarahkan untuk pendampingan korban.

"Untuk menangani masalah ini diperlukan kerjasama keluarga agar mampu menyelesaikan persoalan lebih bijak," harap Nengah Budawati. (ANT166/K004)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010