Sanur, Bali (ANTARA News) - Para ilmuwan yang mengikuti pertemuan tahunan Association for Tropical and Conservation (ATBC) di Sanur, Bali, merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia melarang keembali pembukaan lahan gambut yang disampaikan 2007, dan pada 2009 dibuka lagi.

Pernyataan itu disampaikan dalam penjelasan mengenai "The Bali Declaration: Unequivocal Support for Recent Forest Conservation Initiative in Indonesia" yang dibacakan Wakil Ketua Komite Konservasi ATBC Prof William Laurance didampingi Ketua Panitia Pelaksana Dr Dedy Darnaedi di Sanur, kemarin.

Larangan itu terkait dengan nilai karbon yang tersimpan di dalam lahan gambut itu.

Selain itu, poin penting dalam deklarasi lainnya adalah mendesak Pemerintah Indonesia melaksanakan dan memastikan moratorium selama dua tahun agar tidak mengeluarkan izin konsesi baru untuk hak pengusahaan hutan (HPH) perkebunan sawit dan perkebunan lainnya, dan mengimplementasikan isi moratorium segera dan memastikan tidak ada ekspansi ke lahan-lahan yang dlarang.

Para ilmuwan juga meminta semua izin-izin konsensi untuk penebangan hutan terkait moratorium, dan dilakukan evaluasi dengan hati-hari keanekaragaman hayatinya dengan kekayaan karbon yang tersimpan di lahan konsesi mereka.

Sementara itu, Direktur Eksekutif John Kress menyatakan bahwa desakan yang disampaikan melalukan deklarasi itu berbeda karena datang dari ilmuwan.

"Yakni, dari penelitian yang panjang, dan bukan dari LSM dan aktivis, dan berdasarkan penelitian ilmuwan," katanya.

Sedangkan Presiden ATBC Prof Frans Bongor menambahkan bahwa penelitian yang dilakukan ilmuwan selama 15 tahun lahan gambut merekomendasikan untuk tidak membuka lahan gambut yang bahkan tebalnya hingga mencapai 2 meter.

Menurut dia, caranya adalah sederhana, yakni hanya dengan memblok bagian di lahan gambut agar tidak kering.

"Kalau dibuka dan kering, maka bahan biomassa di lahan gambut akan membusuk dan melepaskan karbon dalam jumlah banyak," katanya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia Dr Adi Basukriadi --yang juga menjadi panitia ATBC 2010-- menyatakan bahwa ia sepakat dengan Willian Laurance bahwa dari berbagai pertemuan tahunan organisasi itu, hingga 20 tahun ke depan ATBC 2010 adalah kegiatan terbesar sepanjang pelaksanaannya.

"Jadi, ini juga merupakan kesempatan sekaligus sumbangan Indonesia di dalam agenda penyelamatan keanekaragaman hayati bagi dunia," katanya.

Ia meyakini kegiatan serupa di Tanzania pada tahun 2011, belum tentu bisa diikuti oleh ilmuwan seluruh dunia dalam jumlah besar seperti yang dilaksanakan di Indonesia.

Pertemuan Internasional Asosiasi Biologi Tropis dan Konservasi (ATBC) yang berlangsung sejak 19 Juli hingga 23 Juli 2010 diikuti tidak kurang dari 900 ilmuwan dalam negeri dan mancanegara.

ATBC merupakan organisasi profesi terbesar dan tertua di dunia dalam hal biologi dan pelestarian alam tropika. Organisasi itu telah melakukan pertemuan tahunan rutin sejak tahun 1963, terutama di negara tropis, dan pada tahun 2010 Indonesia menjadi tuan rumah untuk pertama kalinya dengan penanggungjawab kegiatan LIPI dan
Universitas Indonesia.

ATBC yang dibentuk pada tahun 1963 mempunyai misi memberdayakan risetserta memfasilitasi pertukaran pemikiran di bidang biologi dan lingkungan tropika. Sebagai suatu perhimpunan, maka ATBC menerbitkan suatu publikasi ilmiah berskala internasional yang kini menjadi salah satu terbitan paling terkemuka di bidangnya, yaitu Biotropica.

Fokus ATBC digalang dengan komprehensif, mulai dari sistematika hingga ekologi, dari jasad renik hingga flora fauna berukuran-besar, dari perairan tawar hingga kehutanan dan lautan.

Dewasa ini ATBC bahkan mencakup dimensi manusia, dengan memperhatikan bahwa interaksi manusia seringkali berperan sangat menentukan terhadap disiplin biologi, dan interaksinya.

Pertemuan tahunan ATBC merupakan pertemuan yang penting, sehingga penyelenggaraannya pun dilaksanakan di berbagai penjuru dunia, sebagai contoh pada tahun 2001 di Bangalore, India (symposia), 2002 di Panama City, Panama (symposia), 2003 di Aberdeen, Inggris (abstracts), 2004 di Miami, Amerika Serikat (abstracts), 2005 di Uberlandia, Brasil (symposia), 2006 di Kunming, China (abstracts).

Kemudian, pada tahun 2007 di Morelia, Mexico (abstracts), 2008 di Paramaribo, Suriname (abstracts), tahun 2009 di Marburg, Germany, sedangkan tahun 2010 (19-23/7) dilaksanakan di Indonesia dengan tema

"Keanekaragaman Tropika: Menghadapi Krisis Pangan, Energi dan Perubahan Iklim".

Dalam pertemuan ini dibahas berbagai hal Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Lautan, Perubahan Iklim dan Kehutanan berbasis Karbon, Kesehatan dan Konservasi, Sistem Pengetahuan Tradisional, Ekosistem di Papua dan Papua Nugini, Biogeografi di Wallacea, Orang-utan, Ornitologi, Entomologi, dan banyak lainnya.(*)

(A035/R009)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2010