Jakarta (ANTARA News) - Komisi VII DPR secara resmi mengirimkan surat peringatan ke PT Indonesia Asahan Aluminium menyusul ketidak-hadiran perusahaan peleburan aluminium tersebut dalam rapat gabungan dengan sejumlah menteri pada Selasa (27/7).

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDIP, Dewi Aryani Hilman, di Jakarta, Rabu, mengatakan, ketidakhadiran Inalum tersebut berarti tidak menghargai lembaga DPR.

"Semua pihak yang diundang Komisi VII DPR, berarti memang ada permasalahan penting yang harus dibahas dan diselesaikan. Tapi, Inalum tidak datang, tanpa alasan yang jelas," katanya.

Menurut dia, peringatan tertulis ke Inalum merupakan salah satu kesimpulan pada rapat Selasa yang membahas pengelolaan lingkungan hidup itu.

Ia melanjutkan, rapat itu membahas hal yang penting yakni buruknya pengelolaan lingkungan hidup Inalum, sehingga merugikan masyarakat setempat.

Apalagi, Dewi menambahkan, pejabat setingkat menteri pun datang dalam rapat tersebut yakni Menteri Lingkungan Hidup M Hatta dan Menteri Perhubungan Freddy Numberi.

"Kalau masalahnya tidak serius, tidak mungkin dibahas bersama," lanjutnya.

Karenanya, Dewi mengusulkan, agar pemerintah mengambil alih 100 persen saham Inalum.

"Kita tidak perlu memperpanjang Inalum yang tidak mematuhi amdal dan lingkungan sesuai ketentuan," ujarnya.

Ia melanjutkan, pengambilalihan 100 persen saham Inalum juga akan memberikan manfaat maksimal bagi negara.

Hal senada dikemukakan Anggota Komisi VII lainnya, Dito Ganinduto.

Anggota dewan dari Fraksi Golkar tersebut mengatakan, pemerintah akan memperoleh manfaat maksimal jika mengambil alih 100 persen saham Inalum.

Dito tidak setuju kalau Indonesia hanya menjadi pemilik saham mayoritas.

"Harus memiliki 100 persen," katanya.

Saat ini, pemerintah hanya memiliki 41,12 persen saham Inalum, sementara sisanya sebesar 58,88 persen dikuasai investor Jepang.

Menurut Dito, Inalum akan mudah dioperasikan karena teknologinya sudah dikuasai Indonesia, selain bahan baku juga berasal dalam negeri.

"BUMN kita mampu mengoperasikannya," tambahnya.

Saat ini, pemerintah tengah mengkaji dua opsi pascaberakhirnya kontrak Inalum tahun 2013.

Opsi pertama, pengambilalihan saham 100 persen dengan kebutuhan dana tunai 120 juta dolar AS.

Sumber dana pengambilalihan bisa dari APBN dan selanjutnya dikembalikan Inalum atau memakai dana BUMN.

Opsi kedua adalah peningkatan saham pemerintah menjadi mayoritas yakni 51 persen melalui mekanisme penilaian aset Inalum.

Mekanismenya, pemerintah lebih dulu membeli saham investor Jepang di Inalum sesuai nilai buku.

Selanjutnya, melakukan valuasi aset oleh konsultan independen dan penjualan saham kembali ke pihak Jepang dengan harga valuasi tersebut, sehingga Indonesia menjadi saham mayoritas.

Sesuai kajian Tim Teknis, jika diambil alih 100 persen, maka dampak positifnya pemerintah akan mendapatkan laba dari Inalum 120 juta dolar AS per tahun, pemenuhan kebutuhan aluminium dalam negeri, dan kendali pengelolaan Inalum berada di Pemerintah Indonesia.

Sedangkan dampak negatifnya adalah butuh dana tunai 120 juta dolar AS, adanya aliran dana Indonesia ke Jepang senilai 723 juta dolar, dan hilangnya kesempatan investasi baru yang ditawarkan Jepang untuk ekspansi pemurnian sebesar 367 juta dolar dan pembangunan pembangkit listrik baru 150 MW senilai 300-500 juta dolar AS.

Kalau opsi sebagai pemegang saham mayoritas, maka dampak positifnya pemerintah akan memperoleh pemasukan dana dari selisih penjualan saham Inalum berdasarkan harga valuasi, tambahan investasi sesuai usulan Jepang, dan kendali pengelolaan di tangan Indonesia.

Dampak negatifnya adalah hak atas keuntungan Inalum ke depan berkurang sesuai dengan proporsi saham yang disepakati dan suplai aluminium ke dalam negeri sesuai proporsi saham pemerintah.

Jepang diketahui sudah mengusulkan kelanjutan kerja sama proyek Asahan selama 30 tahun dengan rencana ekspansi adalah meningkatkan kapasitas produksi aluminium dari 250.000 ton menjadi 317.000 ton per tahun dengan tambahan investasi 367 juta dolar AS dan mengupayakan pembangunan pembangkit 150 MW.(*)
(T.K007/M012/R009)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2010