Jakarta (ANTARA News) - Dengan apa kita mengukur kinerja Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum?

Awalnya, publik yang berpikir positif memang menaruh harapan besar kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH). Tapi, sudah berapa kasus yang diungkap?

Alih-alih mengungkap kasus, orang-orang Satgas PMH malah lebih populer sebagai pewacana dan pesilat lidah yang tangguh.

Satgas mengaku sudah menerima ribuan pengaduan dari masyarakat mengenai praktik mafia hukum.

Baru-baru ini, mereka mengumumkan sudah 2.200 pengaduan masuk ke Satgas PMH. Dari jumlah itu, 94 pengaduan berkaitan dengan MA dan peradilan di bawahnya, 69 laporan yang berkaitan dengan Kepolisian, sementara yang berhubungan dengan para jaksa, diterima 49 pengaduan.

Logikanya, pengaduan itu ditindaklanjuti. Tapi, kita belum mendengar apa-apa tentang kinerja Satgas PMH. Mereka juga belum menjelaskan bagaimana semua pengaduan itu diperlakukan.

Sayang sekali jika semua aduan itu tidak ditangani hingga tuntas, padahal umpan atau `entry point` bagi Satgas PMH sudah lebih dari cukup untuk mengaktualisasikan tugas dan fungsinya. Sebutlah beberapa kasus besar seperti perkara penggelapan pajak dengan tersangka Gayus Tambunan dan perkara lain yang diduga melibatkan pengusaha Paulus Tumewu.

Kalau dua kasus ini didalami, banyak kalangan menduga Satgas PMH akan mengungkap banyak kasus praktik mafia hukum. Sebab, publik tahu bahwa peran mafia hukum dalam dunia peradilan kita sangat dominan.

Kenyataannya, sejak satuan itu dibentuk, belum ada yang sigifikan dari Satgas PMH.

Bahkan, pada benak publik sudah terbentuk kesan kalau Satgas PMH diskriminatif dan tebang pilih.

Saya sendiri dan beberapa kalangan melihat Satgas begitu sigap merespons kasus anggota PKS Misbakhun, tetapi memalingkan wajah dari skandal Bank Century dan beberapa perkara penggelapan pajak.

Satgas PMH dikabarkan juga sempat mendalami belasan perkara `illegal logging` di Riau yang disinyalir sudah `diolah` mafia peradilan. Karena tak juga mengumumkan hasil temuannya, para penggiat lingkungan di Riau kecewa pada kinerja Satgas PMH.

Karena itu, saya sudah sampai pada kesimpulan bahwa Satgas MPH yang dibentuk melalui Keppres No 37/2009 itu tidak produktif karena tak tahu harus mengerjakan apa.

Maka, tak ada gunanya lagi mempertahankan unit kerja Ad Hoc yang satu ini. Satgas MPH hanya bagus pada tingkat ide atau di atas kertas. Tetapi, karena disain kewenangannya serba abu-abu alias tak jelas benar, Satgas MPH malah bisa merusak tatanan.

Sesuai namanya, bidikan Satgas MPH mestinya jelas, yakni memburu oknum yang memperdagangkan kasus, memainkan pasal-pasal pidana atau para penyuap aparat penegak hukum. Namun, kita semua tahu bahwa target ideal buruan Satgas MPH itu adalah juga areal kerja polisi, jaksa dan para hakim di pengadilan.

Kalau Satgas MPH ingin mereduksi pekerjaan polisi, jaksa dan hakim, kewenangan itu harus dipertegas.

Kalau tak ada disain wewenang yang tegas dan lugas, Satgas MPH hanya mengacau. Hanya menyebabkan gerak polisi, jaksa dan hakim menjadi kikuk, serba tanggung dan serba `ewuh pakewuh`.

Bagi saya, Satgas PMH bukan solusi. Bahkan cenderung melemahkan institusi penegak hukum yang sudah ada.

Kalau fungsi Satgas PMH terus dibiarkan abu-abu seperti sekarang, dia akan merusak agenda penegakan hukum. Karena orientasinya yang tak jelas itu, saya malah khawatir intervensi Satgas PMH terhadap kerja polisi dan kejaksaan bukan hanya menurunkan kepercayaan diri polisi dan para jaksa, tetapi juga membangunan rivalitas yang tidak sehat.

Menurut saya, pemberantas mafia hukum harus menjadi bagian atau agenda tak terpisah dari proses reformasi institusi-institusi penegak hukum kita.

Proses itu sudah dimulai walau tampak tersendat-sendat. Agar jalannya proses itu mulus, kembalikan pekerjaan memberantas mafia hukum kepada institusi penegak hukum, yakni polisi, jaksa dan lembaga peradilan. Karena itu bubarkan Segera Satgas PMH ini, karena berpotensi merusak sistem.

Rahim Birokrasi

Ketika mengulas kasus mafia pajak dengan tersangka Gayus Tambunan, saya sudah mengatakan bahwa mafia hukum itu lahir, tumbuh dan besar bak gurita dari rahim birokrasi negara.

Dia tidak muncul dari mana-mana, hanya dari aparatur negara karena adanya kuasa pada mereka.

Berbeda dari era terdahulu yang tertutup, transisi reformasi sekarang memberi ruang sangat leluasa bagi penegak hukum untuk mengendus praktik korupsi di semua institusi negara.

Para penegak hukum berhasil menembus dinding-dinding penutup ruang praktik korupsi yang dikuasai para oknum birokrat.

Akses itu ternyata tidak sepenuhnya digunakan sebagai pintu masuk penegakan hukum. Tak semua kasus besar yang dijaring penegak hukum diberi perlakuan hukum sebagaimana seharusnya.

Pada banyak kasus besar, dari BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) sampai kasus penggelapan pajak, penegak hukum kita gampang goyah. Tergoda ingin hidup mewah, tangan mereka pun menengadah, siap menerima suap.

Merasakan nikmat dari kolusi itu, penegak hukum pun masuk perangkap mafia pencurian kekayaan negara.

Polisi, jaksa hingga hakim di pengadilan pun mulai terbiasa berkolusi dengan oknum birokrat yang korup. Oknum birokrat mencuri uang negara, dan penegak hukum kita melindungi mereka manakala mereka terjaring operasi pemberantasan korupsi.

Ini adalah sebuah jaringan mafia yang pastinya sangat `powerfull`. Tak ada satu pun kekuatan di luar mereka yang bisa meruntuhkan kekuatan itu. Hanya kekuatan dari dalamlah yang bisa memorakporandakan kekuatann mafia itu.

Dan, itulah yang terjadi pada kasus Gayus Tambunan, birokrat muda di kantor Ditjen Pajak yang kini menjadi tersangka kasus penggelapan pajak.

Dalam lakon penggelapan pajak oleh Gayus, kita mendapat gambaran sangat utuh tentang bagaimana oknum birokrat dan para penegak hukum melakukan kejahatan terhadap negara dan rakyat.

Gayus mencuri uang pajak, polisi merekayasa berkas acara pemeriksaan (BAP), jaksa membuat dakwaan yang meringankan, dan pengadilan pun membebaskan Gayus.

Kesimpulannya, selama institusi penegak hukum kita belum bersih atau tak pernah mau bersih-bersih, jangan sekalipun percaya atau yakin bahwa penegakan hukum kita akan mencapai tujuan besarnya, yakni mewujudkan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum.

Melihat kekuatan mafia hukum sedemikian besar itu, apa mungkin sebuah unit kerja ad hoc bisa meruntuhkannya?

Pastinya tak mungkin. Hanya dengan reformasi institusi penegak hukum, mafia hukum bisa diberantas. Mereka kuat di dalam. Karena itu, hanya kekuatan reformis dari dalam pula yang bisa melawan dan meruntuhkan mafia hukum.

Satgas PMH dibentuk karena menurunnya kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.

Menurut saya, strategi ini salah besar. Sebab, taruhannya adalah kemungkinan gagalnya reformasi hukum. Yang bisa terjadi mustru sebaliknya, yakni gerakan terselubung melawan Satgas PMH itu sendiri.

Akibatnya adalah aksi pemberantasannya tidak jalan, sementara mafia hukumnya sendiri justru makin solid. (*)

*) Penulis adalah anggota Komisi III DPR RI, yang antara lain membidangi masalah hukum.
**) tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis, tidak mewakili pandangan redaksi

J004/H-KWR

Oleh Bambang Soesatyo *)
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2010