Moskow (ANTARA News/AFP) - Rusia menempatkan rudal anti-pesawat S-300 di Abkhazia sejak pasukannya menyerbu Georgia dua tahun lalu untuk melindungi dua wilayah yang memisahkan diri, kata satu sumber Kremin, Jumat.

"Semua mitra kami telah diberi tahu," kata pejabat Kremlin kepada kantor berita Interfax.

Pemimpin angkatan udara Rusia Jendral Alexander Zelin menyatakan Rabu bahwa rudal-rudal S-300, salah satu sistem senjata anti-pesawat paling kuat di dunia, ditempatkan untuk melindungi wilayah udara di Abkhazia dan Ossetia Selatan serta Rusia selatan.

Ia tidak menjelaskan kapan rudal-rudal itu ditempatkan di Abkhazia. Pasukan Rusia menyerbu Georgia pada Agustus 2008 setelah pertempuran meletus menyangkut Ossetia Selatan.

Georgia mengecam penempatan rudal-rudal itu karena mengubah perimbangan kekuatan di kawasan tersebut, sementara Uni Eropa mengatakan bahwa penempatan itu telah melanggar kesepakatan gencatan senjata.

Namun, AS menyatakan yakin bahwa keberadaan rudal-rudal itu di kawasan tersebut bukan hal yang baru.

"Saya yakin kami mengetahui Rusia telah menempatkan rudal-rudal S-300 di Abkhazia selama dua tahun terakhir," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Philip Crowley kepada wartawan di Washington, Rabu.

Rudal S-300, yang pertama kali diproduksi oleh Uni Sovyet pada 1978, adalah sistem rudal darat-udara yang mampu melacak dan menghancurkan rudal-rudal balistik, jelajah dan pesawat yang terbang rendah, dengan daya jangkau 100-200 kilometer.

Kremlin mengakui kemedekaan wilayah-wilayah separatis Georgia yang didukung Moskow, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 26 Agustus tahun 2008, beberapa pekan setelah pasukan Rusia mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan.

Hubungan Rusia dengan Barat memburuk setelah perang singkat negara itu dengan Georgia.

Georgia menyatakan, perang itu dan pengakuan Moskow terhadap wilayah-wilayah tersebut sebagai negara merdeka merupakan pencaplokan atas wilayah kedaulatannya.

Pada 27 Agustus 2009, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menegaskan bahwa Moskow tidak akan pernah membatalkan keputusannya mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara-negara yang merdeka dari Georgia.

Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.

Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun 2008.

Ossetia Selatan dan Abkhazia memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.

Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.

Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.

Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari 2009 ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.

Nikaragua adalah negara pertama setelah Rusia yang memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".

Venezuela pada 10 September 2009 juga memberikan pengakuan penuh atas kemerdekaan kedua wilayah separatis Georgia itu.

Nauru, sebuah negara pulau kecil di kawasan Pasifik, mengikuti jejak Rusia mengakui kedua repubik itu sebagai negara-negara merdeka. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010