Mataram (ANTARA News) - Pemberian remisi untuk mantan Direktur Utama PT Varindo Lombok Inti, Drs Izzat Husein MM, selaku terpidana korupsi kasus tukar guling bekas Kantor Bupati Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, masih tertunda.

Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Mataram, Sudarno, di Mataram, Rabu, mengatakan bahwa pihaknya belum menerima Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM tentang pemberian remisi untuk Izzat Husein.

"Mungkin dalam perjalanan ke Mataram, dan kalau ada SK itu, maka kami akan langsung memberikan remisi sesuai ketentuan yang berlaku," ujarnya.

Dengan demikian, menurut dia, terpidana korupsi itu tidak termasuk 799 orang narapidana yang menjalani masa hukuman di tujuh lapas dan rumah tahanan (rutan) di wilayah NTB, yang mendapat remisi khusus saat peringatan HUT ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2010.

Sudarno mengemukakan, pihaknya mengajukan usulan remisi umum untuk terpidana Izzat Husein berupa pengurangan masa hukuman dua bulan penjara, setelah dinyatakan memenuhi syarat.

Izaat sudah menjalani lebih dari sepertiga hukumannya atau 2,1 tahun dari empat tahun sesuai putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Selatan, sejak Juni 2008.

Pengusaha NTB itu mulai menghuni Lapas Mataram yang dipindahkan dari Jakarta, sejak akhir Desember 2009.

Kini, ia menghuni salah satu kamar berukuran 5 x 2,5 meter di ruang tahanan Blok 3 Lapas Mataram, bersama dua orang tahanan korupsi lainnya.

Namun, Izaat merupakan tahanan khusus sehingga persetujuan remisi harus ditetapkan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Sesuai PP 28/2006 itu, setiap narapidana berhak mendapatkan remisi, dan remisi diberikan apabila memenuhi persyaratan berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan.

Khusus bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan remisi apabila memenuhi persyaratan berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana.

Khusus untuk koruptor, ketentuan PP 28/2006 ini hanya berlaku bagi tindak pidana korupsi yang memenuhi kriteria, yakni melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

Kriteria lainnya yakni menjadi perhatian serta meresahkan masyarakat, dan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.

Remisi bagi narapidana diberikan oleh Menkumham yang ditetapkan dengan keputusan menteri, setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

"Karena dia (Izzat) tahanan khusus, maka penetapan remisinya juga disertai syarat tambahan sesuai PP 26/2006 itu," ujarnya.

Kendati demikian, Sudarno tetap yakin SK penetapan remisi untuk Izaat Husein segera tiba dan pihaknya akan menindaklanjutinya sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Seperti diketahui, kasus korupsi dalam proses "ruislag" eks kantor Bupati Lombok Barat itu ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak awal tahun 2004 hingga menghasilkan dua orang tersangka yang kini telah menjadi terpidana yakni Izzat Husein dan Bupati Lombok Barat, Drs H. Iskandar (almarhum).

Dalam proses `ruislag` atau jual-beli dengan metoda tukar tambah itu Varindo memberikan tanah dan 13 bangunan kantor dinas (satu unit diantaranya bertingkat) yang terletak di Giri Menang, Gerung, yang kini menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten Lombok Barat, serta uang tunai sebesar Rp1,5 miliar.

Sementara Pemkab Lombok Barat memberikan sebidang tanah seluas 7,6 hektare beserta bangunan bekas Kantor Bupati Lobar dan bangunan lainnya yang berlokasi di Jalan Majapahit, Kota Mataram, ibukota Provinsi NTB.

Proses `ruislag` itu terjadi diakhir tahun 2004 dan pada tahun 2006 secara resmi Varindo menyerahkan tanah beserta 13 bangunan kantor itu untuk digunakan Pemkab Lobar hingga saat ini, namun Pemkab Lombok Barat belum menyerahkan eks Kantor Bupati Lobar dan bangunan disekitarnya hingga masalah itu ditangani KPK.

KPK menemukan indikasi kerugian negara karena nilai "ruislag" yang mencapai Rp32,776 miliar tidak sesuai dengan nilai sesungguhnya berdasarkan nilai obyek pajak.
(ANT/P003)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2010