Jakarta (ANTARA News) - Kekuasaan itu seperti kursi merek Ligna. Kursi ini amat populer di masa Orde  Baru (Orba) dulu. Iklannya lucu sekaligus berani, sempat dicurigai bermaksud menyindir penguasa, "kalau duduk lupa berdiri".

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah Presiden pertama dalam sejarah republik ini yang terpilih dua kali berturut-turut  secara langsung. Itu saja sudah menunjukkan prestasi dan tingkat popularitas yang luarbiasa. Wajar jika ada yang menganggap pada pemilihan umum (Pemilu) tahun 2014 nanti masih sangat sulit menemukan pemimpin nasional yang bisa menandingi SBY. Apalagi kalau yang omong itu Ruhut Sitompul. Pastilah sampai tahun 2050 pun SBY dia akan minta tetap jadi Presiden RI.

Tetapi, konstitusi  membatasi presiden hanya bisa dipilih dua kali. Kecuali tentu kalau koalisi partai yang menguasai 70 persen kursi parlemen  sepakat mengamandemen pasal UUD yang mengatur masa jabatan Presiden tersebut. memang tidak mudah, seperti mantan Wakil Presiden (Wapres) M. Jusuf Kalla bilang. Ditinjau dari konteks itu,  tentu tidak  salah kalau juru bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul, Rabu (18/8) lalu menyorongkan wacana yang hendak memberi kesempatan "junjungannya" duduk lebih lama di kursi ligna, eh kursi presiden.

SBY angkat bicara

Tidak sampai beberapa jam setelah Ruhut berwacana, Presiden SBY angkat bicara. Seakan menanggapi Ruhut, SBY menegaskan akan mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden pada akhir periode kedua, dan tidak akan berupaya memperpanjang masa kepemimpinannya dengan mengubah konstitusi.

Presiden juga mengingatkan, bahkan saat gagasan pembatasan masa jabatan presiden dibahas pada awal reformasi, 1998-1999, dia yang menjabat Ketua Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) waktu itu mendorong agar aturan tersebut dituangkan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pernyataan  SBY sebenarnya tidak istimewa. Normatif belaka. Seyogyanya memang demikian sesuai konstitusi yang berlaku. Lain hal, kalau itu diucapkan pada waktu koalisi betul betul sudah berhasil mengubah konstitusi pada tahun 2014. SBY lalu tidak memanfaatkan peluang itu.

Maka, ketika ada yang bertanya,  mana yang bisa dipegang : pernyataan Presiden SBY pada perayaan Hari Konstitusi dengan pernyataan Ruhut Sitompul, saya menunjuk yang kedua. Wacana Ruhut sesungguhnya menarik,  secara hukum memang masih terbuka jalan mengubah konstitusi. Seperti disebut di depan tadi,  jika koalisi yang menguasai 70 persen kursi parlemen solid, seia sekata  berkehendak, maka berubahlah konstitusi itu.

Saya tidak menyatakan Presiden SBY berwatak mencla-mencle. Yang saya soroti adalah watak dasar kekuasaan. George Washington bilang, kalau mau melihat seseorang berubah kasihlah kekuasaan.

Dari jejak rekam di masa revolusi, mana pernah terpikirkan Presiden Soekarno yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 "merekayasa" jabatan presiden seumur hidup. Namun, faktanya berkata  seperti itu. Lalu Pak Harto mengganti Bung Karno di tahun 1966. Mustahil penguasa baru ini akan nekat duduk  terus hingga lupa berdiri.

Maklum,  tema sentral penggulingan Soekarno adalah koreksi total atas penyimpangan dan penyelewengan pemerintahannya. Namun, kenyataan itu jualah yang terjadi. Walau dengan berbagai trik dan modifikasi, antaranya rekayasa keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI atau melalui laporan fiktif para pembantunya, seperti Harmoko, yang menjadi Ketua Umum Golongan Karya (Golkar)  pada waktu itu.

Saya teringat cerita mengenai mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan.Tidak lama setelah duduk di kursi Presiden AS, Ronald Reagan digugat mahasiswa. "Tuan Presiden, mengapa yang Anda kerjakan berbeda dengan hal yang Anda janjikan pada masa kampanye dulu ?" protes mahasiswa. Jawab Reagan ringan saja. "Kampanye adalah satu hal. Menjalankan pemerintahan adalah hal lain".

Terbayanglah nanti Presiden SBY bilang, ketika ternyata cita-cita Ruhut Sitompul terwujud pada 2014. "Saya ini berasal dari prajurit TNI, pantang  menolak penugasan di manapun, apalagi kalau yang menghendaki ini rakyat..." kira-kira begitu kata Presiden. Bahwa dalam kampanye pilpres 2014 nanti SBY gagal atau berhasil itu soal kedua.  Kalau gagal, berarti rakyat Indonesia sudah cerdas. Dan SBY pun boleh bangga bahwa rakyat cerdas itu terjadi di masa  pemerintahannya.

Pertanyaannya: benarkah Presiden SBY dengan Ruhut ada "main" soal wacana pembatasan masa jabatan presiden ? Benarkah SBY-Ruhut seperti duet, satu menyanyi satunya lagi main gitar?

Loyalis sejati

Ruhut Sitompul adalah lawyer namun lebih terkenal sebagai artis sinetron. Namanya melambung ketika berperan sebagai tokoh pragmatis bernama Poltak si Raja Minyak dalam sinetron "Gerhana".

Penampilannya di sinetron itu segar dan lucu. Bagi penggemar sinetron Gerhana, yang paling berkesan dan paling melekat dalam ingatannya hingga sekarang, memang tokoh Poltak si Raja Minyak itu. Ngomong  ceplas-ceplos seenak udel, tapi perlu--- meminjam iklan sebuah majalah berita.

Ruhut pernah gagal sampai Senayan ketika maju sebagai caleg dari Partai Golkar di tahun 2004. Kemudian dia nyebrang ke Partai Demokrat.

Di dalam kiprah politik Ruhut seperti mengaktualkan paham klasik, "di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung". Sikap itu ditunjukkan sewaktu di Golkar di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung. Sekian lama di Golkar sekian lama itulah Ruhut mengkuningisasi dirinya, seluruh atributnya sehari-hari berwarna kuning. Baju, setelan jas, dasi, sepatu, tas, mobil, dan lain-lain.

Mungkin hanya gigi saja yang dia bebaskan sesuai warna aslinya. Sedangkan kepada Bang Akbar Tanjung, dia demonstrasikan sikap loyal habis dalam keadaan susah maupun senang. Lihatlah sendiri ketika Akbar Tanjung tersangkut kasus hukum, di layar televisi, hanya Ruhut itulah yang runtang-runtung mendampingi Akbar Tanjung diperiksa pihak berwajib. Di kala sebagian kader Golkar, dan kawan setia Akbar Tanjung sibuk "cuci badan" dan"ganti kulit". Hengkangnya Ruhut dari Golkar oleh sebab "jijik" pada praktek penghianatan dalam tubuh partai itu.

Seperti pada Golkar, begitu pula sikap loyal Ruhut pada Partai Demokrat. Saya jadi saksi pada tahun 2005 ketika bersama dia  memenuhi undangan Rachmat Gobel mengikuti trip Panasonic Awards ke Eropa. Saya menemani Poltak memburu segala atribut warna biru. Baju, dasi, jas, tas, kacamata, sepatu, dan lain sebagainya.

SBY sayang Ruhut

Dan, Ruhut pun terpilih sebagai anggota DPR-RI periode 2009-2014. Di parlemen bisa disaksikan bagaimana loyalnya dia terhadap partai dan Presiden SBY. Dia mengambil posisi sebagai palang pintu, atau kalau dalam tim sepakbola dia adalah libero tangguh siap menghadang apa saja yang mengancam gawangnya. Bagi orang yang semula hanya mau menerima dia sebagai artis, lucu-lucu, elemen untuk menyegarkan suasana semata, pasti kecele.

Ruhut ternyata jauh melebihi dari yang semula dibayangkan. Ia malah bisa mengganggu teman-temannya sesama anggota lembaga yang terhormat. Pokoknya hajar habis siapapun yang mengancam gawang Partai Demokrat dan SBY. Seringkali dalam melaksanakan doktrin itu Ruhut  mengabaikan etika.

Kita bisa saksikan misalnya persidangan Pansus DPR membahas kasus Bank Century yang berhari-hari disiarkan televisi. Dia tidak lagi lucu,  malah seperti "teroris",  termasuk waktu menyodok mantan Wapres M. Jusuf Kalla dengan sebutan "Daeng" yang berkonotasi merendahkan sehingga memicu protes di berbagai tempat.

Sebagai teman,  pernah saya agak lancang meminta dia agak lebih kalem memainkan perannya.  Saya ingatkan tetap fokus berkomitmen pada kepentingan rakyat, bukan pada partai atau bos partai.

Partai Demokrat dan SBY dipilih oleh mayoritas rakyat, dengan berkomitmen hanya pada rakyat, sesungguhnya sama dengan membela partai dan bos. Dia ketawa saja mendengar itu. Tapi, saya puji dia juga, dari sekian banyak artis cuma Ruhut yang cepat masuk hitungan sebagai politisi cakap. Sebagian besar garing. Tawanya betul-betul meledak di bagian ini.

Citra SBY sejak awal ingin dikenang sebagai pemimpin demokratis, elegan, etis dan santun. Nah, tentu menarik dipertanyakan mengapa praktek politik Ruhut tidak berbanding lurus itu.

"Hehehe. . . Pak SBY tuh sangat sayang sama saya. Saya memiliki sesuatu yang tidak beliau miliki untuk menghadapi situasi tertentu. Pak SBY orangnya santun, saya sableng" begitu pengakuan Ruhut.

Ini benar adanya. Ada buktinya. Ketika gencar pemeriksaan kasus Bank Century di DPR, apalagi pada periode pemeriksaan Menkeu Sri Mulyani dan Wapres Boediono, Presiden SBY sempat terusik. Sebagai reaksinya, secara khusus kepala negara itu mengingatkan perlunya anggota parlemen menaati etika. Yang menarik, ternyata sepak terjang Ruhut di parlemen selama ini, tidak termasuk kategori perbuatan yang dirisaukan melanggar etika oleh Presiden SBY.

Maka, pertanyaan tadi sejauh mana kerja sama Ruhut Sitompul dengan Presiden SBY mengenai wacana perpanjangan masa jabatan presiden, rasanya sudah terjawab.

Kekuasaan ada kalanya seperti coto Makassar, atau makanan enak. Baru masuk satu dua suap, sudah berdiri minta tambah. (*)

*) H. Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.id, ilhambintang@cekricek.co.id, twitter: @ilham_bintang) adalah Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).

Oleh Oleh H. Ilham Bintang *)
Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2010