Kupang (ANTARA News) - Pengamat Hukum Internasional dari Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa, SH.MHum, berpendapat, utusan Indonesia dalam perundingan masalah perbatasan kedua negara di Kota Kinabalu, Negara Bagian Sabah, Malaysia, pada hari ini, harus tegas melakukan diplomasi.

"Diplomasi yang tegas itu dimaksud selain untuk memastikan batas wilayah sesungguhnya, juga sebagai salah bentuk peringatan terakhir bagi negeri Jiran itu tidak mengulang lagi tindakan-tindakan yang salah sebelumnya," katanya di Kupang, Senin, menanggapi perundingan antara Indonesia-Malaysia di Kinabalu, 6 September 2010.

Wetan Songa yang juga dosen Fakultas Hukum Undana Kupang ini, mengatakan, sudah menjadi ketetapan pemerintahan Indonesia bahwa masalah ini dipercepat, dan telah pula ditegaskan tahapan perundingannya, sehingga jangan sampai kesempatan ini disia-siakan.

Karena menurut dia, berbagai diplomasi terdahulu antarpejabat tinggi kedua negara ini sering digelar, namun tidak ada hasil dan titik temu.

Akibatnya berbagai pelanggaran dan insiden terus terjadi dan membuat hubungan RI-Malaysia semakin memanas seperti yang baru saja terjadi di perairan Selat Malaka dimana pihak Malaysia sewenang-wenang manangkap dan menahan tiga staf Kementerian Keluatan dan Perikanan RI hingga akhirnya berbuntut pada sengketa perbatasan RI-Malaysia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 1 September 2010 di Mabes TNI Jakarta, menegaskan, perundingan batas wilayah Indonesia-Malaysia segera dituntaskan agar tidak terjadi insiden yang mengganggu hubungan kedua negara.

"Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa solusi yang paling tepat untuk mencegah dan mengatasi insiden-insiden serupa adalah, dengan cara segera menuntaskan perundingan," kata Presiden.

Presiden menjelaskan, perundingan yang dilakukan meliputi perundingan batas wilayah darat dan maritim termasuk di wilayah selat Singapura, dan perairan Sulawesi, atau perairan Ambalat.

"Indonesia berpendapat bahwa perundingan menyangkut batas wilayah ini dapat diefektifkan pelaksanaannya dan kalau dapat hasilnya aawal dapat diketahui," kata Yudhoyono.

Presiden menambahkan, perundingan harus didasari niat dan tujuan yang baik, agar insiden-insiden serupa yang mengganggu hubungan baik kedua bangsa dapat dicegah dan tiadakan.

Menurut Wetan Songa, untuk dapat berdiplomasi dengan tegas dan dapat menuntaskan pokok persoalan, maka para juru runding dari Indonesia harus menguasai dengan persis setiap agenda yang akan dibahas dengan dalil yang mempuni dan didukung dengan data akurat.

Artinya bahwa tidak 100 persen, pertemuan hari ini, harus langsung menuntaskan seluruh masalah yang dirundingkan, tetapi paling tidak, ada titik terang terutama batas wilayah laut yang selama ini menjadi pemicu ketegangan kedua negara yang masih satu rumpun itu.

Ia mengatakan Perundingan Kinabalu harus menjadi tonggal awal kesuksesan nagi perundingan-perundingan masalah perbatasan perairan lain antara Indonesia dengan sekitar 10 negara tetangga yang selama ini masih menyimpan pontensi konflik batas maritim diantaranya Australia, Singapura, India, Filipina, Thailand, Vietnam, Papua Niuguine dan Timor Leste.

"Potensi yang nampak dan sekarang sedang dalam pembahasan, adalah, batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinental," katanya.

Potensi dan peluang konflik perbatasan yang masih dan sedang terjadi adalah kegiatan "illegal fishing" oleh nelayan-nelayan tradisional maupun nelayan yang memiliki peralatan modern.

Dia mengatakan untuk mengantisipasi potensi konflik wilayah perairan tersebut dengan negara tetangga, maka Indonesia harus proaktif membuat perjanjian seperti, batas laut teritorial dengan Malaysia tahun 1970, Singapura tahun 1973 dan terakhir tahun 2009, namun belum diratifikasi.

"Perjanjian dengan Australia soal batas ZEE tahun 2003, namun belum dirativikasi. Batas landasan kontinental dengan Malaysia tahun 1969, dengan Australia tahun 1971 dan 1972, dengan Thailand tahun 1971 dan 1975, India 1974 dan 1977, Vietnam tahun 2003 tetapi belum diratifikasi juga," katanya.

Sedangkan katanya batas maritim yang belum dilakukan perundingan bilateral adalah, batas laut Teritorial dengan Malaysia di Tanjungdatu, Kalimantan Barat dan perairan Sebatik, Kalimantan Timur. Singapura di segmen Timur, Selat Singapura dan Timor Leste di Laut Sawu, Selat Wetar dan Laut Timor.

"Penetapan batas-batas maritim tersebut ditentukan berdasarkan ketentuan United Nations of Convension on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 82) atau Konvensi Hukum Laut Internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No.17 tahun 1985, tentang Hukum Laut," katanya. (ANT/K004)

Pewarta: NON
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010