Jakarta (ANTARA News) - Sekelompok peneliti dari Universitas Oslo, Norwegia, meneliti dampak tsunami dan apakah bantuan dan upaya rekonstruksi pasca bencana membantu menciptakan perdamaian. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari hubungan bencana alam dengan resolusi konflik.

Tsunami


Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia sedang panas-panasnya berkonflik ketika tsunami mengguncang Aceh pada 2004. Sementara di Srilangka, bertahun-tahun lamanya etnis mayoritas Sinhala yang didukung pemerintah dan etnis minoritas Tamil terlibat dalam konflik berkepanjangan di negeri itu.

Perundingan damai antara pemerintah dengan Liberation Tigers of Tamil Eealam (LTTE/Macan Tamil) macet pada 2003, dan konflik kembali pecah dengan nafsu balas dendam yang hebat.

Saat tsunami mengguncang selama liburan Natal 2004, Aceh dan Srilangka menjadi dua wilayah yang paling parah terkena bencana itu.  

Berbeda

Dalam proyek berjudul "Conflict resolution and democratisation in the aftermath of the 2004 tsunami: A comparative study of Aceh and Sri Lanka" para peneliti melakukan analisis perbandingan antara Aceh dan Srilangka.

"Tsunami memungkinkan penemuan beberapa jawaban atas peran yang dimainkan bencana alam dalam konflik politik besar," jelas profesor Kristian Stokke dari Universitas Oslo seperti dikutip ScienceDaily.

Dr. Stokke, yang mengepalai proyek dan koleganya, menemukan kaitan bahwa tsunami menciptakan dampak berbeda terhadapa perkembangan politik di Aceh dan Srilangka.

"Bencana alam tidak memecahkan konflik. Yang bisa dilakukan adalah mempengaruhi dan kemungkinan memperkuat proses politik yang sedang berlangsung. Tetapi, dalam kasus yang ditunjukkan Aceh dan Srilangka, hasilnya berbeda," kata Stokke.

Aceh

Setelah 29 tahun dilanda konflik dan peperangan, pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pada 15 Agustus 2005.

MoU itu memungkinkan warga Aceh mengatur sendiri pemerintahannya namun dengan tetap berada dalam kerangka wilayah istimewa Indonesia. Mereka juga memperoleh hak mendirikan partai politik lokal.

"Di Aceh, proses pembaruan politik sudah dimulai saat tsunami menghantam. Proses antiradikalisasi GAM berlangsung signifikan pada 1999-2004. Sejalan dengan ini, Jakarta telah menanamkan banyak kesepakatan besar dalam mencari solusi untuk konflik Aceh."

Di sini, demikian Dr. Stokke, tsunami menjadi peristiwa yang memberi legitimasi untuk perundingan lanjutan bagi pemberontak dan pemerintah.

"Kedua pihak menangkap kesempatan ini, tetapi tsunami bukan faktor yang menentukan. Sebaliknya itu merupakan proses politik yang sudah dimulai," kata Stokke.

Srilangka

Di Srilangka, tidak ada proses positif yang berlangsung seperti terjadi di Aceh saat tsunami menghantam. Sebaliknya, konflik menemui jalan buntu.

"Pada 2004, pemberontak dan pemerintah menganggap perang pada dasarnya diperlukan. Tsunami tidak mendorong proses perdamaian pada era pra 2003. Satu-satunya hal yang dilakukan adalah mempertahankan perang selama satu tahun. Kemudian perang berkecamuk lagi."

Dampak

Sebagai bagian dari proyek, para peneliti membandingkan penggunaan dana kerjasama pembangunan di Aceh dan Srilangka setelah tsunami, sekaligus menemukan perbedaaan penting dalam hubungan ini.

Di Aceh, bantuan bencana alam pasca tsunami disediakan dalam cara yang lebih tradisional seperti sudah dilakukan berkali-kali di masa sebelum tsunami.

Sebaliknya di Srilangka, bantuan digunakan untuk menyelesaikan konflik. Negara-negara donor seperti Norwegia berusaha menggunakan dana kerjasama pembangunan sebagai alat untuk memecahkan konflik di negara itu.  Mereka ingin menggunakan bantuan untuk membangun kepercayaan antara kedua pihak.

"Bisa kami simpulkan bahwa tidak mungkin membangun kepercayaan antara kedua pihak dengan menggunakan dana kerjasama pembangunan. Malahan bantuan di Srilangka sangat dipolitisir. Pendonor dilihat sebagai negara neoimperialis yang campur tangan dalam konflik nasional. Hasilnya, bantuan lebih memperkuat konflik ketimbang mecahkan masalah," kata Stokke.

GAM dan Macan Tamil

Pihak ketiga yang diteliti oleh proyek riset ini adalah melihat apa yang terjadi pada GAM dan Macan Tamil (LTTE) sesudah tsunami.

Lagi-lagi, situasinya benar-benar berbeda. GAM merombak diri dalam partai politik dan menjadi bagian utuh politik Indonesia, sementara Macan Tamil kalah dan kemudian dihancurkan pemerintah Srilangka.

"Beberapa berusaha merombak LTTE secara politis, tetapi pemberontak malahan memilih mengikuti logika militer," kata Stokke.  Dan sepeerti kemudian terjadi, organisasi pemberontak itu hancur berantakan. (*)

ENY/AR09

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2010