Jakarta (ANTARA News) - Tidak mudah mempertahankan kemitraan selama 50 tahun, tapi itu lah yang dicapai Kelompok usaha Gobel dan Matsushita Electric Industrial Co Ltd, simbol kemitraan langgeng Indonesia-Jepang yang menurut Rachmat Gobel masih akan bertahan hingga lebih 50 tahun lagi.

Di ruang tamu yang luas dengan replika berbagai mobil antik, anak kelima atau anak lelaki pertama Thayeb M Gobel itu menuturkan kisahnya menjalani 26 tahun menjadi mitra Matsushita.

Berikut petikan wawancara lengkap wartawan ANTARA (A), Risbiani Fardaniah, dengan Preskom PT Panasonic Gobel Indonesia, Rachmat Gobel (RG), beberapa waktu lalu.

A: Bisa anda ceritakan bagaimana sampai ada kerjasama Gobel dengan Matsushita ?

RG: Almarhum Thayeb M Gobel mendirikan perusahaan PT Transistor Radio Manufacturing Co (TRM) pada 1954. TRM mulai memproduksi radio transistor pertama di Indonesia dengan merek “Transistor’ dan “Cawang”. Merek “Cawang” terinspirasi oleh nama area pabrik atau lokasi kantor TRM.

Almarhum Thayeb M Gobel membentuk perusahaan dan pabrik radio transistor bukan karena keputusan bisnis semata, yang hanya untuk mengejar keuntungan. Tetapi lebih didasari oleh semangat heroisme dan rasa kebanggaan beliau terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Pidato Presiden Soekarno selalu memberikan semangat kepada seluruh masyarakat Indonesia dan menjadi sumber inspirasi bagi mereka. Karena itu almarhum Thayeb M Gobel selalu berfikir: “bagaimana cara yang tepat agar supaya pidato Bung Karno (dan Pemimpin Indonesia di masa depan) dapat secara langsung didengar seluruh masyarakat Indonesia, yang tersebar di seluruh pelosok negeri.”

Kerjasama dan persahabatan keduanya semakin tumbuh dan berkembang. Awalnya hanya memproduksi radio transistor, dilanjutkan dengan membuat/memproduksi “televisi”. Pada 1962, bersamaan dengan penyelenggaraan Asian Games ke IV di Jakarta, TRM diberikan kesempatan oleh Pemerintah Indonesia memproduksi televisi hitam putih pertama di Indonesia.

Dengan dukungan teknik Matsushita Electric pembuatan 10,000 buah televisi hitam putih pertama dapat diselesaikan dengan baik.  Contoh produk dengan nomor seri pertama dari televisi tersebut diserahkan kepada Ibu Negara ibu Fatmawati Soekarno.

A: Apakah semudah itu menjalin kerjasama dan kemudian membuat perusahaan patungan dengan Matsushita, atau keduanya saling mencari mitra?
 

RG: Persahabatan almarhum Thayeb Gobel dengan almarum Konosuke Matsushita didasarkan pada “kesamaan”  visi dan falsafah usaha.

Almarhum Thayeb Gobel mempunyai falsafah usaha ”Pohon Pisang”, yakni sebuah karya cipta dan cita-cita itu ibarat pohon pisang, jika ditanam dalam sebidang tanah ia akan berkembang dan beranak pinak, serta akan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat sekitar.

Sementara almarhum Konosuke Matsuhita memiliki falsafah usaha ”Air Mengalir”, yang menyatakan tak ada manusia yang tidak memerlukan air, memberikan manfaat sebesar besarnya pada sekitarnya dan membersihkan semua kotoran tanpa sisa.  

Perpaduan dari dua filosofi ini, menjadi dasar kerjasama Matsushita - Gobel yang kini berada di bawah bendera Panasonic - Gobel.

A: Bagaimana akhirnya anda menggantikan ayah anda, apakah memang disiapkan untuk itu?

RG: Terus terang saya baru menyadari kalau “telah dipersiapkan almarhum ayah saya”, setelah beliau wafat dan berpulang ke Yang Maha Kuasa.

Sejak kecil saya telah digembleng dalam disiplin yang keras. Almarhum telah menyiapkan mental saya untuk selalu bekerja keras, tak kenal menyerah, spartan dan mandiri.

Untuk pergi dan pulang kantor atau pabrik, saya tidak diijinkan menggunakan kendaraan yang ada di rumah. Saya dilarang menggunakan fasilitas orang tua untuk belajar menjadi karyawan. Saya harus mandiri dan menggunakan fasilitas umum. Saya diharuskan menggunakan kendaraan umum. Dari rumah naik bis umum seperti Mayasari Bakti dan Sekar Wangi dan dilanjutkan dengan “opelet”.

Saya  diwajibkan menjaga kebersihan pabrik dengan membantu “menyapu pabrik”.

Terakhir Saya juga mendapat tugas membawa tas kerja yang berisi dokumen-dokumen penting, milik salah seorang Direktur Perusahaan, seperti layaknya ajudan.

Hal yang sama dialami oleh adik laki-laki saya Abdullah Gobel yang  mendapatkan pendidikan yang sama seperti saya.  Diharuskan pula untuk membiasakan diri dengan lingkungan kerja pabrik.   

Wafatnya almarhum merubah semua jalur hidup saya. Secara otomatis seluruh kepemilikan perusahaan beralih kepada saya sebagai “putra laki-laki tertua” di keluarga, mewakili tujuh kakak-beradik. Masa itu seluruh kepemilikan perusahaan patungan atau kerjasama dengan Matsushita dimiliki secara pribadi oleh ayah saya.

Saya sempat tercatat sebagai “Mitra Usaha Termuda Matsushita” di seluruh dunia.

Saya kembali ke Indonesia tahun 1988 dan menjadi salah satu anggota Board of Directors di PT National Gobel, dengan fungsi menjadi Asisten Direktur Utama -- 3 tahun sebelum menjadi Direktur Perencanaan, tahun 1991

A: Apa visi beliau yang anda teruskan sampai sekarang?

RG: Visi almarhum Thayeb M. Gobel adalah menjadikan Industri sebagai lapangan pengabdian beliau kepada Nusa dan Bangsa.

Melalui Industri Elektronika beliau bercita-cita merajut persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia, yang terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa yang tumbuh dan berkembang di atas kekayaan tradisi, adat istiadat, kultur, serta kekayaan sumber daya alam, di 17.000 pulau -- yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.

Visi almarhum ini saya jadikan pemandu program kerjasama dengan Jepang selama ini. Saya mempunyai amanah untuk melanjutkan visi perjuangan beliau.

A: Bagaimana anda meneruskan bisnis keluarga terkait kemitraan dengan perusahaan elektronika terkemuka di Jepang, adakah kendalanya?

RG: Selama 26 tahun saya telah menunjukkan komitmen dan loyalitas saya pada persahabatan almarhum ayah saya almarhum Thayeb M Gobel dengan almarhum Konosuke Matsushita.

Sebagai mitra lokal, saya bertanggung jawab terhadap pengembangan perusahaan “patungan” khususnya dalam hal pengembangan pangsa pasar produk Panasonic di tanah air. Syukur alhamdulliah, selama kurun waktu 50 tahun ini, perusahaan terus tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya sesuai dengan harapan dan keinginan dari kedua belah pihak.  

Dari usia kerja sama 50 tahun, almarhum merintis kerjasama selama 24 tahun. Sementara 26 tahun saya telah bekerja keras agar Panasonic sebagai mitra Gobel memilih Indonesia sebagai salah satu negara basis produksi untuk keperluan pasar domestik Indonesia maupun pasar ekspor ke negara-negara lainnya. Kini pangsa pasar Panasonic di Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu.

A: Tantangan terbesarnya apa ketika anda memegang kendali perusahaan?

RG: Pada waktu saya menerima amanah estafet karena wafatnya almarhum ayah saya, usia saya baru saja menginjak 22 tahun. Pada saat itu tantangan terbesar saya adalah membuktikan kalau saya dapat menjalankan amanah beliau dengan baik.

Diantaranya memelihara warisan beliau berupa komitmen kerjasama dengan Matsushita, menjaga keberlangsungan cita-cita beliau untuk menumbuh kembangkan industri elektronika dan industri lainnya di Indonesia, tetap dalam jalur pengabdian yang telah ditetapkan oleh beliau yakni di jalur Industri manufaktur dan sektor riil (meski ada juga godaan untuk menemukan jalur lain di pasar saham), serta dalam beberapa hal menggantikan peran beliau dalam melindungi kepentingan keluarga untuk mengabdi dan membesarkan generasi penerus nama Gobel.

Tantangan berat berikutnya adalah bagaimana saya harus dapat meyakinkan para senior, orang-orang yang waktu itu bekerja bersama-sama almarhum ikut membangun perusahaan. Yang tentu saja jika saya jujur pada diri sendiri, mereka pada saat itu pasti ”underestimate” dan mungkin juga berfikir ”apakah saya dapat memelihara dan menumbuhkan perusahaan atau sebaliknya saya dapat membawa perusahaan ke kemunduran”. Suatu keraguan yang sah dan wajar pada saat itu.

Apalagi ketika saya mulai memegang tampuk pimpinan perusahaan pada 1992, kala itu kinerja perusahaan dalam keadaan yang kurang bagus terkena imbas dari adanya ’kebijakan uang ketat’, setelah melewati masa ’buble economy’. Keadaan ini semakin diperberat, menyusul mulai adanya ’krisis Asia’ pada 1997/1998.

Alhamdulillah berkat kepercayaan dan dukungan semua pihak, setelah sekian tahun berjalan, kinerja perusahaan membaik. Dari perusahaan  yang merugi dan memiliki utang yang cukup besar, menjadi untung -- bahkan mampu memiliki deposito yang lumayan besar.

Tantangan terbesar lainnya adalah pada masa itu hampir semua negara di Asean sedang berlomba-lomba dengan berbagai insentifnya, berupaya menarik investasi asing untuk menjadikan negerinya sebagai basis produksi domestik dan ekspor. Apalagi China, yang juga mengandalkan kekuatan pasar domestiknya yang sangat besar sebagai salah satu insentif utama.
 
A: Bagaimana akhirnya anda mengembangkan bisnis hingga kemitraan menjadi lebih besar dari satu menjadi beberapa perusahaan?

RG: Pada waktu studi di Universitas Chuo dan mengikuti program magang di perusahaan Matsushita di Jepang, saya mendapat kesempatan untuk mempelajari dan belajar mengapa Jepang bisa menjadi salah satu negara yang memiliki kekuatan ekonomi yang demikian besar, bahkan masih menjadi kekuatan ekonomi ke-dua di dunia sekarang ini. Padahal jumlah penduduk dan negaranya tidak sebesar Amerika.

Mengetahui hal tersebut, saya pun mulai melakukan pembicaraan dengan mitra mengenai rencana atau pandangan saya tersebut terhadap perkembangan perusahaan di masa depan. Saya mengajak mereka untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu basis produksi mereka untuk pasar ekspor. Kekuatan besarnya pasar domestik dijadikan sebagai modal untuk selanjutnya dikembangkan juga untuk ekspor.

Saya merasakan bahwa Jepang Inc berjalan dalam lapangan kehidupan industri dan ekonomi Jepang. Mereka bersatu sebagai suatu Bangsa dan membangun kerjasama yang erat diantara masyarakat industri dengan Pemerintah untuk berjuang bersama meningkatkan daya saing produk industri mereka.

Itu yang di Indonesia masih lemah dan belum kuat.

A: Bagaimana sikap anda terhadap mitra, mengingat tidak ada perlindungan dari pemerintah?

RG: Saya harus menjalankan amanah semua pihak untuk membawa perusahaan yang saya warisi ini terus tumbuh dan berkembang. 50 tahun sudah kami jalani bersama sebagai ”mitra”, kami sudah saling memahami kondisi dan harapan masing-masing terhadap kerjasama dan ada saling percaya serta saling menghormati satu sama lain.

Kerjasama didasari landasan kokoh bagi kelanggengan kemitraan, yaitu :

Pertama: Kerja sama atau kemitraan diantara kami didasari oleh landasan yang kokoh, yaitu ”filosofi dan dasar berfikir”  serta visi yang sama/mirip dari kedua founder (pendiri perusahaan ).

Kedua: Kemitraan diantara kami juga berdasarkan azas saling menghormati (mutual respect), saling mempercayai (mutual trust) dan saling menguntungkan (mutual benefit) bagi keduanya.

Ketiga: GOBEL ikut berperan serta dan ikut mengambil resiko terhadap perkembangan dan kemajuan perusahaan. Kita sama-sama menanggung bentuk risiko dalam setiap keputusan yang diambil bersama.

A: Mengapa tahun 2004 bapak melepaskan kepemimpinan di manajemen?

RG: Pada tahun 2004, setelah 16 tahun saya menjadi pimpinan tertinggi dalam manajemen, saya melepaskan jabatan dalam manajemen operasional perusahaan untuk diserahkan kepada mereka yang lebih professional. Saatnya bagi saya untuk berada di luar manajemen, agar dapat lebih berperan dalam kebijakan yang lebih global dan strategis untuk terus menemukan posisi terbaik bagi kelompok perusahaan pada situasi yang selalu berubah dengan cepat.

Selain daripada itu, saya juga ingin memberikan kesempatan pada yang lain untuk dapat menindak lanjuti, serta meneruskan memimpin perusahaan ini ke era berikutnya, agar siap untuk bersaing di masa yang akan datang.

Selanjutnya saya duduk sebagai Presiden Komisaris perusahaan dan aktif untuk mengabdikan diri di KADIN, agar bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman guna mendorong pertumbuhan industri nasional.  

Dengan demikian saya pun dapat melihat kemajuan atau kemunduran perusahaan secara seutuhnya dengan kaca mata yang berbeda, saya bisa membandingkan kemajuan perusahaan dengan perusahaan-perusahaan lainnya di luar Panasonic Group. Saya juga  dapat melihat apakah ditangan profesional, perusahaan dapat berjalan sesuai dengan arah yang diharapkan dari masa ke masa, karena kita tidak sekedar membangun usaha/pabrik tetapi membangun industri.

(Tahun 2004, Rachmat Gobel meninggalkan peran rangkap sebagai eksekutif dan pemilik perusahaan, melepaskan jabatan Presiden Direktur kepada profesional dan memilih duduk sebagai Presiden Komisaris perusahaan )

A: Sudah disiapkan kah generasi ke-3?

RG: Sudah.  Mereka sekarang ini telah duduk di beberapa perusahaan dan terus menyiapkan diri, apabila waktunya tiba untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan.

A: Apa yang anda tekankan pada calon penerus kemitraan GOBEL-Panasonic?

RG: Saya selalu ingatkan dan tekankan pada mereka untuk terus melanjutkan visi dan cita-cita pendiri perusahaan membangun industri, menjadikan industri sebagai lapangan pengabdian untuk Bangsa dan Negara, menggunakan industri sebagai ”Dojo” atau tempat hidup bersama membangun kesejahteraan bersama, mengembangkan keterampilan dan penguasaan teknologi baru dan memajukan masyarakat Bangsa dan Negara

Hal ini harus benar-benar mereka pahami, karena merupakan hal dasar untuk pengambilan setiap keputusan dalam situasi-kondisi apapun, baik sulit maupun mudah.

A: Jadi sama juga kah gaya anda mendidik calon generasi ketiga, dengan gaya ayah mendidik anda?

RG: Tidak, tidak sama. Justru berbeda dengan cara almarhum mendidik saya pada waktu itu. (Anak laki-laki Rachmat Gobel kini sedang melanjutkan studinya di Australia ).

Saya tidak mengharuskan anak saya untuk melakukan hal-hal yang telah saya lakukan dahulu, seperti datang dan ke kantor atau pun bermain di kantor. Demikian pula dengan pendidikan, saya lebih terbuka dengan menanyakan terlebih dahulu interest atau keinginan anak saya.

Sekarang ini, putra saya Arief, sedang melanjutkan studinya di Autralia bersama dengan kakak perempuannya, Ani. Namun setelah selesai di Australia nanti, saya akan meminta Arif untuk melanjutkan pendidikannya di Jepang. Tidak saja untuk menimba ilmu, tetapi juga mempelajari nilai-nilai bisnis dan etika manejemen Jepang.

Saya berharap putra saya dapat mewarisi “nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh kakeknya, almarhum pendiri perusahaan” menjadi seorang pebisnis yang tidak saja handal tetapi juga memiliki etika yang tinggi, yang selalu mengedepankan “ nilai manfaat yang bisa diberikan”.

Hal ini tidak hanya saya tanamkan kepada anak-anak saya, tetapi juga kepada keponakan-keponakan saya.

Insyaallah dengan mempelajari perpaduan dua falsafah usaha pendiri perusahaan dan kultur bisnis,  dapat memberikan warna dalam kehidupannya kelak sebagai salah satu generasi penerus kelompok usaha GOBEL -- pelanjut estafet.

A: Kenapa harus belajar nilai–nilai bisnis Jepang?

RG: Pertama, melihat dari kultur dan kebiasaan para pebisnis di-Jepang yang akan selalu mementingkan pembentukan ”nila-nilai” dari perusahaannya. Mereka akan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka bangun yang merupakan satu kesatuan dengan merk dari pada produk yang mereka hasilkan.

Kedua, dalam bekerjasama dengan perusahaan Jepang selama 50 tahun ini, kami mempelajari sesuatu yang sangat luar biasa dari mitra, yaitu : “sebelum membuat produk atau produk yang akan dihasilkan, mereka selalu membangun manusianya terlebih dahulu”. Tenaga kerja atau karyawan akan selalu dilatih atau mendapatkan pelatihan/ training secara berkala dan berkesinambungan.

Ketiga, pada umumnya masyarakat bisnis Jepang dalam menilai ”sebuah/satu perusahaan” bukah hanya dilihat dari sisi berapa nilai saham atas perusahaan tersebut, atau bagaimana apersepsi orang terhadap perusahaan; tetapi mereka juga akan melihat dan memperhitungkan ”kwalitas dari produk yang dihasilkan serta nilai tambah riil yang telah dicapai oleh perusahaan untuk masyarakat yang pada akhirnya akan menghasilkan ”loyalitas konsumen” pada perusahaan atau produk dari perusahaan.

A: Bagaimana anda membangun kemitraan sehingga bisa bertahan sampai sekarang?

RG: Menurut saya kuncinya adalah “itikad atau niat” kita untuk membangun dan membesarkan perusahaan secara berkesinambungan dengan penuh rasa tanggung-jawab.

Dalam bermitra, saya selalu mengutamakan kepentingan mitra dibanding dengan kepentingan atau keuntungan saya sendiri. Saya yakin dan percaya, bila “mitra” kita merasa dan tahu kalau kepentingan atau keinginan mereka didahulukan, pasti dia pun akan memperhatikan atau memikirkan kepentingan kita. Oleh sebab itu hubungan kami dengan Panasonic-Jepang  terus berlanjut hingga sekarang ini.

A: Apa target jangka pendek dan jangka menengah dari kerjasama itu?

RG: Dalam jangka pendek, saya menyampaikan keinginan saya kepada Presiden Direktur Panasonic-Jepang, bahwa dengan semakin membaiknya ekonomi Indonesia, serta kuatnya pasar domestik Indonesia yang telah dibuktikan pada waktu krisis 2008 delapan yang lalu, sudah waktunya bagi “kita” lebih agresif dalam mengantisipasi “tumbuhnya pasar” dalam negeri, disamping mulai membaiknya kondisi ekonomi dunia secara keseluruhan. Untuk itu saya mengusulkan untuk meningkatkan penjualan produk Panasonic menjadi 3 (tiga) kali lipat dari sekarang pada tahun 2014.

Sedangkan untuk jangka menengah, saya juga berkeinginan agar ragam produk yang bisa diproduksi di Indonesia bisa terus ditambah, serta penambahan kwantitas produksi untuk produk-produk yang memang sudah diproduksi di sini. Dengan kata lain, dengan modal pasar domestik yang akan semakin besar dengan bertumbuhnya “middle income people”, jadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk pasar ekspor dan menjadi bagian dari gobal strategi Panasonic untuk pasar di dunia.

A: Dalam jangka panjang, apakah kerjasama GOBEL – Panasonic bisa bertahan?

RG:
Saya yakin kerjasama kami tetap akan terus bertahan lebih dari 50 tahun lagi.

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2010