Samarinda (ANTARA News) - Pengamat sosial Kalimantan Timur, Sarosa Hamongpranoto menilai berbagai konflik horizontal yang marak terjadi di berbagai daerah, termasuk kerusuhan Tarakan, bisa menjadi cermin  kegagalan pemerintah dalam mengatasi premanisme.

Dalam beberapa hari terakhir, tercatat tiga kasus konflik horizontal terjadi di berbagai daerah, yakni pertikaian Tarakan, Ampera Jakarta dan kini di Kampung Cimandala, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

"Kegagalan dalam mengatasi premanisme berarti upaya penegakan hukum juga lemah sehingga orang-orang kini sudah tidak lagi takut untuk melakukan berbagai tindakan melanggar hukum," papar akademisi Universitas Mulawarman itu.

Ia mendukung peninjauan ulang berbagai peraturan tentang organisasi masyarakat dan kepemudaan, karena justru sering menimbulkan resah sosial.

"Akar masalah yang bisa menimbulkan konflik horizontal adalah benturan akibat perbedaan karekteristik budaya serta ekskusifitas suatu kelompok," kata Sarosa.

Kecemburuan sosial akibat kesenjangan perekonomian juga merupakan salah satu sumber yang memicu konflik horizontal.

"Faktor lain, yakni terkait dengan ketidakpastian kebijakan publik. Misalnya, putusan pengadilan yang masih gampang diperjualbelikan sehingga akan melahirkan masyarakat yang frustasi," ujarnya.

Ia menilai, salah satu upaya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menekan kian maraknya kasus konflik horizontal itu adalan serius menjadikan hukum sebagai panglima.

"Indonesia adalah negara hukum, bukan negara preman. Yakinlah, jika 100 orang keberatan dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam upaya serius melakukan penegakan hukum, maka 10.000 orang bahkan jutaan orang akan mendukungnya," katanya. (*)
ANT/AR09

Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2010