Jakarta (ANTARA News) - Ancaman Menteri Lingkungan Hidup Gusti M. Hatta untuk tidak berkompromsi terhadap siapapun yang merusak lingkungan beberapa waktu lalu setara pedasnya dengan Ketentuan Pidana (pasal 97-120) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

UU tersebut memberi sanksi kurungan hingga maksimum 15 tahun penjara dan denda maksimum Rp15 miliar bagi perusak lingkungan. 

Bahkan suatu kegiatan yang limbahnya dapat mengakibatkan terlampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, atau kriteria baku kerusakan lingkungan, juga sudah dianggap suatu kejahatan dengan sanksi berupa bui hingga 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar (pasal 98).

Pasal ini merupakan suatu lompatan sanksi yang jauh, dibandingkan dengan UU sebelumnya ! dan membuat merinding, bagi negara kita yang pentaatan terhadap lingkungan masih sporadis dan belum menjadi mainstream !

Hasil penilaian PROPER (peringkat kinerja perusahaan terhadap lingkungan) periode 2008-2009 sesuai KepMenLH No. 127 Tahun 2002, terhadap 627 perusahaan, memperoleh 1 perusahaan berperingkat emas, 41 perusahaan peringkat hijau, 170 perusahaan peringkat biru, 229 perusahaan peringkat biru minus, 82 perusahaan peringkat merah, 48 perusahaan peringkat merah minus,  dan 56 perusahaan peringkat hitam.  

Peringkatan biru minus (36,5%) merepresentasikan perusahaan yang memiliki mekanisme pengelolaan lingkungan, namun beberapa upaya belum mencapai hasil sesuai peraturan (seperti baku mutu). Peringkat merah dan hitam (30%) mewakili perusahaan yang melakukan upaya pengelolaan lingkungan, namun hanya sebagian dari upaya tersebut yang mencapai hasil sesuai peraturan (merah).

Sedangkan peringkat hitam tak punya mekanisme pengelolaan lingkungan.  Sebaran peringkat ini kiranya tak akan jauh berbeda pada periode tahun 2010 ini.  

Sekiranya pasal 98 diterapkan secara penuh tanpa kompromi, maka paling tidak analog sekitar 66,5% perusahaan di Indonesia ini akan duduk sebagai pesakitan di meja hijau mulai 4 oktober 2010.  Ini suatu keniscayaan yang mengkhawatirkan bagi keberlanjutan industri, maka wajar kalau pelaku sektor migas berteriak lantang tak sanggup memenuhi UU 32/2009 tersebut dalam waktu dekat !

UU 32/2009 memang revolusioner dari sisi ketajaman dan kebaruan isi.  Banyak kalangan yang terkaget-kaget dengan bunyi pasal-pasal pada UU ini yang baru, tegas, dan garang.  Padahal masih banyak pasal-pasal yang perlu penjabaran lebih lanjut.
Kekurangan Perangkat Peraturan Pelaksanaan

Paling tidak terdapat sekitar 32 pasal pada UU 32/2009 yang perlu penjabaran lanjutan baik melalui peraturan pemerintah maupun peraturan menteri.  Sekitar 20 pasal belum ada peraturan pendukungnya, atau sedang dalam proses penetapan.

Pasal-pasal tersebut mencakup: 1) Inventarisasi Lingkungan Hidup, 2) Ekoregion, 3) RPPLH (Rencana Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 4)  Daya Dukung dan Daya Tampung, 5) KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), 6) Kriteria usaha atau kegiatan golongan ekonomi lemah, 7) Izin Lingkungan, 8) Instrumen Ekonomi  Lingkungan, 9)  Analisis Risiko Lingkungan, 10) Tata cara penanggulangan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup, 11) Tata cara pemulihan fungsi  lingkungan hidup.

Selanjutnya 12) Dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup, 13) Konservasi dan pencadangan sumberdaya alam serta pelestarian fungsi atmosfer, 14) Tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan, 15) Sistem Informasi Lingkungan, 16) Tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan.

Pasal tentang sanksi 17) Sanksi Administratif, 18) Uang  paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan, 19) Ganti rugi terhadap usaha atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup, 20) Hak gugat masyarakat.

Nah sekiranya memang pasal-pasal UU 32/2009 akan diterapkan sepenuhnya dan ditegakkan secara konsisten tanpa kompromi, maka niscaya kita akan menyaksikan segerombolan orang atau badan usaha akan berurusan lebih intensif dengan otoritas lingkungan, mulai 4 Oktober 2010 nanti.  Untuk mengakomodir kebelumlengkapan peraturan pendukung tersebut, terdapat pasal 121-123 berisi ketentuan peralihan, berupa kebijakan kompromi tenggang waktu.  

Oleh karena itu, pemerintah kembali mengeluarkan peraturan menteri lingkungan hidup No 14/2010 tentang Dokumen Lingkungan Hidup Bagi Kegiatan Yang Telah Memiliki Izin Usaha Tetapi Belum Memiliki Dokumen Lingkungan, yang intinya berupa pemutihan terhadap pelaku industri yang mengabaikan kewajiban pengelolaan lingkungan.  

Ketentuan ini serupa dengan Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan (DPPL), yang berlaku hingga tahun 2009.  PerMenLH No 14/2010 ini memberi ruang kompromi bagi kalangan industriawan yang lalai, agar menyusun dokumen lingkungan dalam waktu 2 tahun, sejak diberlakukannya peraturan ini (7 Mei 2010). Badan usaha tersebut harus menyusun dokumen DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan hidup) bagi kegiatan yang wajib AMDAL, dan DPLH (Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup) bagi kegiatan yang wajib UKL-UPL.  

Namun demikian, bagaimana halnya dengan pasal-pasal lainnya yang belum ada jabaran lanjutan. Ketika jatuh tempo waktu penerapan UU 32/2009 yakni 4 Oktober 2010, mungkin akan terjadi kebingungan dan keruwetan permasalahan lingkungan, atau malah apatisme dan masa bodoh, akibat belum tuntasnya peraturan pelaksanaannya.  Jadi untuk sementara waktu, kita harus menerima realitas bahwa UU 32/2009 masih berupa pedang bermata dua (tajam dan tumpul). (***)

*) Sekretaris Eksekutif PPLH IPB

Oleh Hefni Effendi
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2010