Jakarta (ANTARA News) - Upaya pelestarian lingkungan seyogyanya dipelopori melalui rangkaian kekonsistenan tata kelola (good environmental governance) dalam pentaatan peraturan lingkungan, masyarakat madani (civil society) yang peduli lingkungan, serta kebijakan lingkungan insentif dan disinsentif.  

Interaksi sinergis sinambung ketiga pilar itulah yang potensial  bermuara pada terpeliharanya lingkungan, ditopang kebijakan pembangunan pro pertumbuhan, pro kemiskinan, dan pro lingkungan. 

Konsep KLHS (Kajian lingkungan hidup strategis) dan ecoregion telah diadopsi dalam UU No 32/2009 menjadi instrumen kelola lingkungan pada tataran perencanaan sebagai pengejawantahan pendekatan preemtif.  Untuk mewujudkan zonase ruang  berwawasan lingkungan, berpatokan pada daya dukung dan daya tampung.

From Cradle to Grave

Penggiringan upaya pengelolaan lebih ke konstelasi hulu, juga diaplikasikan dalam lingkup proyek berupa pembaruan konsep end of pipe (ujung pipa), dengan paradigma from cradle to grave yakni dari tahap awal sudah ditelaah komponen berdampak lingkungan, demi lebih menonjolkan aspek pencegahan, ketimbang pengurangan dan rehabilitasi (mitigasi).

Paradigma ini seirama dengan model pengelolaan lingkungan kontemporer semacam: ecolabel, ISO 14000, dan produksi bersih (cleaner production) yang mempertimbangkan lingkungan dalam setiap tahapan produksi via substitusi bahan atau proses yang tak ramah lingkungan.

Masyarakat madani peduli lingkungan juga mengarahkan pasar global (market driven) secara suka rela (voluntary) mengintegrasikan unsur pelestarian lingkungan dalam labelisasi produk. Industriawan mulai memposisikan pengelolaan lingkungan bukan lagi beban, tapi menjadi bagian dari kapital.

Konsep global kebijakan pro lingkungan seperti: CDM (clean development mechanism), tax holiday, polluter must pay principle  dsb, perlu terus diupayakan penerapannya di tanah air, untuk memperkaya kebijakan nasional lingkungan yang telah berjalan selama ini seperti: program kali bersih, langit biru, pantai lestari, proper, adipura, kalpataru, dsb.

Untuk mendapatkan predikat emas pada program Proper (penilaian kinerja lingkungan), tak semata dituntut patuh, tapi beyond complience dengan zero emisi dan zero discharge. Tak saja taat pada peraturan wajib (obligatory), tapi juga proaktif mengadopsi model pengelolaan lingkungan voluntary.

Terowongan Kodok dan Tangga Ikan

Pada tahun 2000, kami diundang oleh rekan Jerman untuk bertandang ke rumahnya di desa dekat Duesseldorf.  Meskipun desa tapi infrastrukturnya lengkap, jalan yang mulus, ada kantor pos, bank, poliklinik, supermarket, rumah tertata rapi, hamparan pertanian luas yang digarap secara mekanik, hutan yang terjaga, dsb.

Di sepanjang perjalanan, kolega ini terus berceloteh mengisahkan keunikan dari setiap jengkal wilayah yang dilewati.  Kami melintasi wilayah yang di kiri-kanan jalannya diberi ratusan meter pagar plastik.  Ternyata pagar plastik dibuat agar kodok yang beranak-pinak di wilayah ini tak melintas jalan.  Terutama pada musim semi, banyak dari kodok tersebut menemui ajalnya karena terlindas mobil.

Bukankah kemungkinan kodok menemukan makanan dan pasangannya akan berkurang, karena adanya pembatas? Ternyata, di jalan tersebut dibuatkan terowongan khusus bagi penyeberangan kodok !  

Dulu selagi bermukim di Sheffield (Inggris), setiap akhir pekan, berjalan menyusuri taman kota dan pinggiran kali kecil hingga ke luar kota.  Karena memang di negara maju, ruang terbuka hijau, taman kota, kebun raya, jalan setapak yang terawat baik untuk bersepeda dan pejalan kaki, menjadi jamak dari tatanan kota, menyediakan oasis segar di tengah hiruk pikuk dan kesumpekan perkotaan.

Mengingat di Eropa ada jenis ikan laut (Salmon) yang beruaya ke hulu sungai, tempat ikan ini asalnya menetas dari telur, untuk melakukan pemijahan (bertelur), maka pada bendungan dibuatlah dam bertangga, memungkinkan Salmon bisa melompat, sehingga upayanya mencapai hulu sungai untuk memijah tak terhalangi !

Hedonisme dan Nimby

Keunikan flora fauna di garis Wallacea mungkin lebih menarik peneliti asing, ketimbang peneliti kita ? Suaka margasatwa Lambusango dan Laut Wakatobi di Pulau Buton setiap Juni dibanjiri oleh periset Inggris. Bahkan mereka menjadikan wilayah tersebut sebagai wahana riset dan menggalang wallacea trust.

Satu waktu ketika pulang malam dari Institut Umsicht  (Jerman, 2009) melintas taman, dari balik semak menyeruak sekawanan landak dengan anaknya; serta seringkali menjumpai kelinci liar; bebek; angsa; dan segerombolan burung air.  Entah kapan bisa melihat landak, terenggiling, dan satwa lainnya yang nyaris punah, hidup liar dengan sentosa di taman di tanah air ini, skeptis kah !  

Sari pati apa yang dapat diekstrak dari ilustrasi sederhana di atas?  Bahwa upaya untuk memberikan ruang tumbuh dan berkembang tak semata dimonopoli untuk memanjakan nafsu  greedy, hedonisme, dan hegemoni manusia terhadap alam, tetapi makhluk lainnya pun tak dikesampingkan.     

Millenium Ecosystem Assessment (2005) melaporkan sekitar 10-30% mamalia, burung, amfibi terancam punah, 20% terumbu karang rusak, 35% hutan mangrove hilang.  Populasi species laut dan daratan berkurang 30%. Setiap jam seluas 300 lapangan bola hutan tropis dibabat, 4 jenis hewan liar punah. Setiap tahun 61.000 km2 padang pasir terbentuk. Moga ini hanya prediksi semata !

Banjir bandang yang kerap mendera, barangkali berkaitan dengan pembalakan hutan semena-mena, yang terkadang berdalih untuk perkebunan, atau malah penebangan liar.  Setelah kayu ditebang, kebunnya tak kunjung ditanam.  Atau mungkin berkorelasi dengan daerah resapan air yang terus menyusut.  Pemompaan air tanah yang berlebihan di Jakarta, barangkali juga bisa mengamblaskan tanah dan intrusi air laut.

Agar tak diberi stigma apatis lingkungan Nimby (not in my backyard) yang masa bodoh sepanjang problematika lingkungan tak di pelupuk  mata, mari berperilaku nyata. Mulai dari hal sederhana di sekitar kita, seperti membatasi penggunaan plastik,  menggunakan kertas bolak balik, menggunakan air dan listrik seperlunya, meminimalkan timbulan sampah rumah tangga, tidak latah mengadopsi kebiasaan throw away (sekali pakai buang), dsb.  (***)


*) Sekretaris Eksekutif PPLH-IPB

Oleh Hefni Effendi
Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2010