Yogyakarta (ANTARA News) - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan membuka "Law Center" di seluruh provinsi di Indonesia untuk lebih menggiatkan keterlibatan perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas pendidikan hukum.

"Namun, saat ini baru 12 `Law Center` yang berdiri, karena memang tidak mudah untuk mendirikannya. Pendirian `Law Center` mensyaratkan kerja sama terlebih dulu antara Kementerian Hukum dan HAM dengan perguruan tinggi setempat," kata Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, di Yogyakarta, kemarin.

Menurut dia di sela pertemuan Badan Kerja Sama (BKS) Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri, sistem pendidikan hukum di Indonesia sudah saatnya tidak hanya diarahkan pada "transfer of knowledge", tetapi juga pada sistem profesionalisme.

"Pemerintah bersama kalangan perguruan tinggi menjadi harapan bagi pembentukan hukum di Indonesia ke depan. Fakta menunjukkan beberapa rancangan undang-undang yang dibuat dengan biaya mahal, dengan mudahnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," katanya.

Ia mengatakan, hal itu menunjukkan baik secara substantif maupun sistem pembuatan undang-undang memiliki cacat hukum terutama dari perspektif konstitusional.

Selain itu, ada ribuan peraturan daerah yang dibatalkan oleh pemerintah pusat, karena secara substantif dan formalitas peraturan-peraturan tersebut cacat hukum. Padahal, berbagai peraturan daerah itu di antaranya dibuat dengan melibatkan perguruan tinggi yang memiliki fakultas hukum.

"Peran perguruan tinggi tidak berarti kita menyalahkan semua kepada perguruan tinggi, tetapi ingin menggugah agar ke depan perguruan tinggi yang memiliki fakultas hukum wajib hukumnya membantu semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan," katanya.

Menurut dia, berdasarkan pengalaman gambaran seorang sarjana belum memberikan gambaran yang maksimal. Dalam rangka mencapai tujuan akhir dari bidang hukum dan menegakkan keadilan di tengah masyarakat, karut-marut persoalan penegakan hukum semestinya sudah harus ada perubahan sejak lama.

"Persoalan itu di antaranya putusan hakim yang tidak diikuti rasa keadilan masyarakat dan banyak aparatur penegak hukum masih cenderung menyalahgunakan wewenang, sehingga yang menjadi korban objek hukum adalah masyarakat," katanya.

Ia mengatakan berbagai putusan hakim hingga kini dinilai masih ada yang karut-marut dan menjadi sorotan di tengah masyarakat. Kondisi semacam itu semakin membawa dorongan semangat untuk melakukan reformasi pendidikan hukum di Indonesia.

"Jadi, bukan lagi dalam konteks teoritis, karena ketika berbicara tentang pembentukan hukum, tentu tidak terlepas dari pengetahuan mendasar dari pembentuk undang-undang berupa `legal drafter`," katanya.

Menurut dia, salah satu upaya yang harus segera ditempuh tidak lepas dari permasalahan kurikulum fakultas hukum di berbagai perguruan tinggi. Kurikulum sedikit demi sedikit harus dilakukan perubahan.

"Hal itu perlu dilakukan karena proses pendidikan hukum kita masih `tranfer of knowledge`, sehingga tidak terlalu mendalam saat memahami perspektif dan tujuan dari hukum itu sendiri. Dengan demikian, seorang sarjana hukum belum memiliki akuntabilitas, tetapi hanya sekadar labelisasi seorang sarjana hukum," katanya.(*)
(U.B015/M008/R009)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2010