Balikpapan (ANTARA News) - Kawasan hutan seluas 86.450 hektare sebagai lahan pelepasliaran satwa dilindungi orangutan (Pongo pygmeus) terancam dicabut izinnya oleh Menteri Kehutanan.

"Bila kami belum bayar IUPHHK tersebut sampai 30 Oktober ini, kita akan kehilangan hak atas konsesi tersebut," kata Togu Manurung, chief executive officer Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS), pemegang saham utama PT Rehabilitasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI), di Balikpapan, Senin.

IUPHHK adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu atau dulu bernama Hak Pengusahaan Hutan. Membayar iuran IUPHHK adalah syarat untuk mendapatkan hak pengusahaan hutan tersebut.

Pengelolanya PT RHOI belum melunasi iuran IUPHHK sebesar Rp13 miliar.

Padahal di lahan tersebut akan dilepasliarkan kembali 200 ekor lebih orangutan mulai April 2011 mendatang.

Lahan tersebut terletak di kawasan hutan Wehea, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, 300 km utara Samarinda ibukota provinsi Kalimanan Timur.

Uang sebesar Rp13 miliar atau 1,4 juta dolar AS tersebut untuk membayar lisensi selama 60 tahun. Sesuai aturan ditetapkan biaya Rp50 ribu per hektare per 20 tahun sehingga untuk 86.450 hektare konsesinya bernilai Rp13 miliar.

Izin IUPHHK tersebut telah dikeluarkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan Agustus lampau. Surat Peritah Pembayaran (SPP) kemudian keluar tanggal 30 September oleh Dirjen BPK. Surat peringatan pertama telah dirilis Dephut setelah 15 hari belum ada pelunasan.

Orangutan-orangutan yang akan diliarkan berasal dari pusat rehabilitasi dan reintroduksi (peliaran kembali) di Wanariset Samboja Lestari, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara.

"Sebab itu saat ini kami selain tengah berusaha keras mencari sumber-sumber dana, baik dari dalam maupun luar negeri untuk menutupi biaya iuran IUPHHK tersebut, juga memohon kelonggaran waktu pelunasan," lanjut Togu.

Bahkan, lanjut Togu, bila memungkinkan juga pengurangan jumlah iuran yang harus disetor PT RHOI kalau tidak bisa sama sekali bebas biaya.

Alasan utama permohonan kelonggaran, bahkan dibebaskan dari biaya ini, jelas Togu, adalah masalah orangutan sebagai satwa yang dilindungi bukan hanya urusan PT RHOI atau BOS semata.

"Adalah target dari rencana aksi pemerintah sendiri untuk melepasliarkan kembali seluruh orangutan yang saat ini tengah berada di pusat-pusat rehabilitasi dan peliaran kembali orangutan di Indonesia," katanya.

Namun demikian, karena Rencana Aksi yang dicetuskan di Pertemuan Climate Change di Bali silam itu tak disertai dukungan anggaran, pelaksana teknis seperti BOS kemudian mencari sumber-sumber dana lain selain pemerintah.

"Saya jadi pengemis internasional. Kami mengetuk hati dunia, mereka yang peduli baik di Eropa maupun di Amerika dan berbagai belahan lain dunia untuk membantu pendanaan penyelamatan spesies ini," kata Togu.

Sebagai program atau rencana pemerintah, menurut Togu, sebetulnya aneh bila RHOI yang mengerjakan program pemerintah dibebani pembayaran iuran IUPHHK.

Kawasan hutan tempat rilis tersebut adalah bekas kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) milik PT Bukit Rima, Alas Kusuma Grup.

Di Kalimantan ada dua pusat rehabilitasi dan reintroduksi orangutan, di Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dan di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

BOS juga tengah memohon lahan kepada Pemerintah untuk merilis orangutan di Kalimantan Tengah. Saat ini tengah diurus izin mendapatkan eks lahan PT Tunggal Pamenang di Kabupaten Murung Raya.

"Kami juga mendapatkan komitmen dari PT Akhates yang merelakan 15.000 hektare konsesinya untuk dijadikan habitat orangutan, dan akan jadi tempat rilis Februari 2011 mendatang," kata Togu.  (ANT-188/K004)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010