Jakarta (ANTARA News) - Adakah sisi romantis ketika seorang koordinator lapangan (korlap) mengajak rekan-rekannya tetap bertahan di depan Istana Negara dalam aksi kritis dalam demonstrasi setahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada Rabu (20/10)?

Bersuara lantang ditambah pengeras suara yang diangkut di atas kendaraan mini-van, dinaungi langit abu-abu berselimut awan putih tiada terik matahari, sang korlap tiada henti disemangati oleh jargon klasik "revolusi selalu tersenyum kepada mereka yang berdarah muda". Dan, darah-darah muda pengunjuk rasa tersirap bersama kibaran panji warna-warni.

Baik aparat keamanan maupun pengunjuk rasa terlibat aksi saling dorong. Pukul 16.00, sang korlap menyulut bara semangat rekan-rekannya dengan berkata, "Mulai panas, kawan. Mulai panas". Gayung pun bersambut. Terdengar bedil aparat keamanan menyalak, "dor, dor, dor". Gas airmata mengusap ribuan wajah massa.

"Water Canon" beraksi, dan massa berlari undur diri. Deru kendaraan bermotor roda dua dan roda empat melaju menembus jalan sekitar Istana Negara. Habis merayakan 20/10/2010 dengan berbagai tembang dan bermacam pidato, terbitlah, "dor, dor, dor." Air susu dibalas air tuba. Sisi romantis dijawab aba-aba taktis.

Jangan dulu mengernyitkan kening ketika merespons romantisme 20/10/2010, karena masih menyisakan dua kata paripurna kecupan nan mesra, cup...cup. Dan, berdesir adrenalin meski bersamaan "dor, dor, dor".

Jangan dulu mengerutkan dahi dan memonyongkan bibir untuk mencibir, karena menyimpan romantisme di tengah aksi demonstrasi mahasiswa. Mengapa?

Kalau tersenyum anak sah dari romantisme, maka silakan tersenyum selagi senyum digratiskan, karena massa pengunjuk rasa dilarang membawa hewan. Karena hewan bukan alat peraga, maka aksi hewan dapat mengganggu ketertiban masyarakat dan dapat memicu kisruh. Ini imbauan dari Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Kombes Pol Boy Rafli Amar.

Silakan menyunggingkan senyum. Di Cileduk, sebuah bus Metro Mini dihentikan untuk diperiksa polisi. Nyatanya, kendaraan itu bukan mengangkut para pengunjuk rasa melainkan mengantar karyawan sebuah perusahaan menuju suatu tempat di Jakarta Selatan.

Ada juga kesesatan berpikir "lingkaran itu bundar". A dibuktikan dengan B, B dibuktikan dengan C, C dibuktikan dengan D, D dibuktikan dengan A. Habis tersenyum simpul, jangan sampai terperangkap lingkaran setan (circulus vitiosus) dalam setiap pernyataan. Contohnya?

"Pengunjuk rasa agar jangan merusak sarana dan prasarana karena kita akan tuntut secara pidana kalau merusak," kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Balaikota DKI Jakarta, Jumat (15/10). Bukankah tindakan merusak sarana dan prasarana milik bersama dengan sendirinya ganjarannya tuntutan pidana?

"Saya minta warga Kota Bandung tetap tenang, dan tidak terpancing isu-isu yang menyesatkan tentang aksi memperingati satu tahun pemerintahan presiden kita," kata Kepala Subag Humas Polrestabes Bandung Kompol Endang Sri Wahyu Utami.

Bukankah warga Bandung mendambakan ketenangan dalam menjalankan aktivitas, tidak ingin terpancing baik oleh aksi maupun isu menyesatkan?

Sama dan sebangun pernyataan dari Kepala Bagian Operasi Polrestabes Semarang, AKBP Imam Basuki, di Semarang. "Kami akan menindak tegas pihak-pihak yang diduga sebagai provokator sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada untuk menghindari terjadinya aksi anarkis," katanya.

Soal provokator diangkat oleh Kepala Bagian Operasi Polrestabes Semarang, AKBP Imam Basuki. Katanya, "Kami akan menindak tegas pihak-pihak yang diduga sebagai provokator sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada untuk menghindari terjadinya aksi anarkis".

Bukankah provokator menunjuk kepada orang yang melakukan perusakan dan penghasutan bahkan pertumpahan darah? Semua tindakan provokatif itu "mengundang" tindakan tegas aparat keamanan dan penegak hukum karena perusuh berbuat anarkistis.

"Semuanya berjalan sangat aman dan tertib," kata Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Baharudin Djafar di Medan. Sementara, di sekitar Lapangan Merdeka Medan, di depan kantor Bank Mandiri, terlihat "water canon" terparkir. Di kantor gubernur Sumut, bersiap water canon dan puluhan aparat kepolisian.

Memang, ada tiga gelombang massa pengunjuk rasa yakni Gerakan Mahasiswa Pemuda Anti Premanisme (GEMPAP), Keluarga Besar Supir dan Pemilik Angkutan (Kesper) dan Aliansi Perjuangan Mahasiswa (Alpamas) USU. Mereka mengeritisi masalah premanisme, sistem transportasi. Apakah kritisisme memerlukan dukungan water canon?

"Kita tidak ingin terjadi kerusuhan akibat aksi demo yang dilakukan dari elemen mahasiswa, disebabkan akan memperburuk citra Kota Padang," kata Kabag Ops Polresta Padang Kompol Arif Budiman, Padang. Secara implisit, pernyataan ini memuat kata "jangan". Lengkapnya, jangan rusuh akibat aksi demo karena dapat memperburuk citra Kota Padang.

Pernyataan-pernyataan itu menerbitkan senyum ketika merespons aksi demonstrasi 20/10/2010. Waktulah yang diharapkan untuk memainkan peran sebagai "juru selamat" di tengah gundah bangsa.

Nah, kalau kekuasaan sejatinya sebuah otoritas, maka hidup dalam bayang-bayang kekuasaan menyebabkan orang merasa gelisah dan cemas. Gelisah dan cemas, karena setiap saat orang akan menderita sengatan dari rezim yang bercokol dan beroperasi dalam perintah, larangan, kewajiban dan suruhan.

Orang yang berseberangan dari arus rezim waktu lantas dikambinghitamkan, bukan dikambingputihkan? Jawabnya, senyum, senyum dan senyum. Tiga kecupan dari seseorang, cup, cup, cup.... (A024/K004)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010