Tinggal di pedesaan adalah sebuah nasib yang harus dijalani dan tidak perlu disesali, karena itulah sebuah pilihan.

Tahun 1950, Sukamto (69) memilih ikut bertransmigrasi dari Pulau Jawa ke Lampung bersama orang tuanya, saat itu ia masih berumur sembilan tahun.

Tiba di Lampung, Sukamto memilih berprofesi sebagai petani, karena ingin agar keenam adiknya dapat terus bersekolah dan bisa memperbaiki nasib keluarganya.

Sukamto, petani yang saat ini tinggal di Desa Rejobinangun, Kecamatan Ramanutara, Lampung Timur dan tepatnya di "persil empat" (sebutan blok pada suatu desa).

Ia mengaku cukup menikmati berprofesi sebagai petani, karena hal itu yang ia tekuni sejak kecil dan menjadi sumber penghidupan bagi keluarganya.

"Apapun pekerjaannya kalau ditekuni mudah-mudahan membawa rezeki," ujarnya menjelaskan meski hanya tamatan sekolah rakyat (SR), namun berkat tempaan hidup membuat dirinya bisa memperhitungkan kondisi terburuk ke depannya.

Salah satu tindakan konkret yang dilakukannya adalah menjaga kesinambungan kebutuhan pangan bagi keluarganya.

Setiap musim, dirinya selalu menyisihkan sebagian hasil panen untuk disimpan dan diharapkan bisa sampai pada musim tanam selanjutnya.

"Walau tidak punya uang, asalkan masih ada simpanan gabah maka masih tenang," katanya.

Hal itu memang umum dilakukan warga di pedesaan, sebab dengan memiliki gabah maka masih bisa makan, meski dengan lauk-pauk dan sayuran yang juga mudah dipetik di pekarangan sendiri.

Upaya untuk menyimpan hasil panen merupakan tindakan nyata untuk mengatasi kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi nantinya, seperti kerawanan pangan.

Pada Umumnya warga di pedesaan memang jarang kesulitan mencari bahan pangan, karena bisa memanen di lahan sendiri dan juga adanya kebiasaan menyimpan bahan pangan tersebut.

Meski kebiasaan menyimpan bahan pangan, seperti menggalakkan "lumbung padi" mulai tidak banyak dipraktikan masyarakat, namun hampir di setiap rumah petani pasti akan dapat ditemui tumpukan padi atau lebih tepatnya dalam bentuk gabah karena sudah dikeringkan dan supaya lebih tahan lama.

Salah satunya Sukamto, yang juga menyimpan gabah di rumahnya, sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan pangan yang dimulai dari individu.


Ketahanan Pangan dan Budaya

Budaya tidak lepas dari masyarakat, dan masyarakat tentunya membutuhkan pangan untuk kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat di pedesaan berupaya mewujudkan ketahanan pangan melalui pendekatan budaya.

Hal itu bisa dibuktikan di masyarakat petani, dengan adanya sebutan "nempur" yakni upaya membeli beras ke warga lain atau ke pabrik penggilingan jika simpanan gabah di rumah telah habis.

Masyarakat memberi sebutan "nempur" itu bukan tanpa sebab, karena agar membudayakan bahasa yang mudah didengar dan agar masyarakat tidak sampai bekerja keras sampai "bertempur habis-habisan" mencari beras.

Sehingga pabrik penggilingan di pedesaan juga menyediakan layanan khusus berupa "beras nempur" agar mempermudah warga yang membutuhkan.

Selain itu, pabrik penggilingan juga ikut-ikutan membudayakan ketahanan pangan dengan menyediakan tempat penitipan gabah namun dengan sistem kontrak agar nantinya dapat digiling di tempat tersebut.

Seorang pengusaha, Nanang (34), di Desa Nampirejo, Kecamatan Batanghari, mengatakan menyediakan tempat penitipan gabah, terutama bagi petani yang tidak memiliki tempat penjemuran dan gudang penyimpanan.

Menurut dia, usaha tersebut dinilai dapat membantu para petani untuk meningkatkan ketahanan pangan dan juga bisa menambah omzet penggilingan miliknya.

"Jika ada yang ingin menitipkan gabah dengan jangka waktu lama, kami akan sediakan sesuai permintaan," katanya.

Ia menambahkan, banyak petani yang menyimpan gabah di pabrik penggilingan, karena dinilai lebih aman dan bisa langsung digiling saat kondisi mendesak.

Menanggapi hal itu, kepala bidang ketersediaan dan kerawanan pangan pada Badan Ketahanan Pangan setempat, Ir Supriyanto, di Sukadana, Lampung Timur, mengatakan secara umum ketahanan pangan di daerah itu cukup kokoh.

Mengenai cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini, menurutnya, belum terlalu berpengaruh terhadap stok pangan daerah, sebab sebelumnya banyak petani yang bisa panen secara maksimal saat musim rendeng (penghujan).

Ia menerangkan, upaya untuk mengantisipasi krisis pangan tetap dilakukan dengan mengaktifkan Dewan Ketahanan Pangan, yang saat ini masih diketuai Bupati Lampung Timur, Hi Satono.

Dewan Ketahanan Pangan tersebut, terdiri dari satuan kerja perangkat daerah yang mengurusi hal produksi pangan, diantaranya Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (Distan TPH), Dinas Peternakan, Dinas Kelautan dan Perikanan.

Sedangkan, Badan Ketahanan Pangan melakukan analisis agar terjadi keseimbangan antara kebutuhan (konsumsi masyarakat) dengan produksi pangan yang ada.

"Pada prinsipnya kami melakukan analisis agar terjadi keseimbangan antara kebutuhan dan produksinya, sehingga ketahanan pangan akan tetap terjaga," jelas dia.

Ia menerangkan, faktor pendukung yang memperkuat ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Timur, diantaranya hasil panen bahan pangan pokok yang cukup besar, diantaranya ubi kayu surplus mencapai 563.818 ton/tahun, jagung surplus 361.466 ton/tahun, beras surplus 102.847 ton/tahun dan ubi jalar surplus hingga 2.494 ton/tahun.

Selanjutnya, luas lahan pertanian yang mendukung, meliputi lahan persawahan seluas 56.613 hektare dan lahan kering mencapai 199.447 hektare.

Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menyebutkan total jumlah penduduk Lampung Timur mencapai 950.574 jiwa, dengan profesi terbanyak yakni sebagai petani sebesar 74,5 persen lebih.

"Dari daya dukung tersebut, maka Lampung Timur diharapkan mampu menjadi daerah berketahanan pangan yang kokoh," jelas dia. (ANT-047/K004)

Oleh Oleh Julianto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010