Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR RI dari Partai Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf, mengemukakan, anggota parlemen membutuhkan kunjungan ke luar negeri untuk melengkapi data dan kepustakaan penyusunan undang-undang.

"Saya khawatir terjadi pelemahan terhadap institusi DPR secara sistematis. Anggota DPR itu dipilih oleh rakyat, berarti pertanggungjawaban langsung kepada rakyat dan dan anggota DPR itu punya `moral obligation`, tanggung jawab moral," katanya kepada pers di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat.

Dia menyatakan, saat ini ada opini yang sangat kuat di masyarakat terkait kunjungan anggota DPR ke luar negeri.

Opini yang dikembangkan melalui media massa itu, katanya, sudah sangat memojokkan dan melemahkan institusi DPR, bahkan DPR dicitrakan sangat buruk.

Padahal, kata dia, kunjungan dan studi banding itu terkait pembahasan undang-undang tertentu. Bahan perbandingan dalam pembahasan undang-undang tidak cukup hanya diakses melalui internet.

"Bicara secara langsung akan beda dengan `teleconference` atau telepon, maka perlu studi banding," katanya.

Dia menduga banyaknya sorotan kunjungan DPR ke luar negeri sebagai bentuk kekhawatiran pihak tertentu terhadap substansi produk undang-undang yang akan dihasilkan sehingga kemudian melemahkannya.

"Saya khawatir karena ada kelompok tertentu yang tidak suka kalau UU kita dan sistem kita jadi baik sehingga memberikan kekhawatiran bagi mereka, sehingga terjadi pelemahan fungsi DPR secara sistematis," katanya.

Dalam membuat UU, kata dia, ada metodologinya. Salah satunya adalah pembanding sehingga diperlukan pembanding itu melalui kunjungan ke luar negeri.

"Kalau studi banding itu tidak pas, tidak transparan, ya itulah yang dituntut. Apa Sih yang dihasilkan dari studi banding ini. Masyarakat harus memahami bahwa yang dibuat ini adalah UU yang bukan untuk satu-dua hari, tapi untuk waktu yang lama. Masak bikin UU asal-asalan," katanya.

Karena itu, kata Nurhayati, studi banding itu dibutuhkan. Kalau ada yang salah, apa yang salah dengan studi bandingnya tapi jangan kemudian studi bandingnya yang diributkan," katanya.

Dia mengharapkan, pers bersikap lebih objektif dan tidak melemahkan institusi negara. Pers juga diharapkan mengembangkan sikap optimisme. "Saya khawatir kalau pers begitu terus, maka akan ada suatu pembodohan kepada publik. Pembodohan ini akan lari kepada kemiskinan, kalau di Islam, kemiskinan itu dekat dengan kekufuran," katanya.

Dia juga berharap media berperan dengan benar dan menjaga kebebasan media digunakan secara benar. "DPR, pemerintah, masyarakat jangan dibodohi," katanya.

Dia mengatakan, kadang anggota DPR serba salah terkait pemberitaan pers karena apapun yang dilakukan, tetap diopinikan buruk walaupun yang diperbuat adalah baik.

"Misalnya, kita bawa wartawan untuk liput acara DPR di pertemuan internasional. Mereka (wartawan yang ikut) tidak tahu. Malah yang ditulis yang jelek dan ketinggalan pesawat karena sempat belanja dulu. Kok bisa nulis yang jelek tentang anggota Dewan yang melakukan pertemuan itu. Ada apa itu dan itu menyedihkan," katanya.

Dia mengungkapkan, semua UU sudah direvisi, kecuali UU tentang Pers. "Mari sama-sama kita lihat dan kita butuh profesionalisme pers itu ditingkatkan. Jangan sampai `masuk angin`. Saya berharap masukan dari pers sendiri apakah tidak risau dengan keadaan sekarang," katanya.
(ANT134*S023/A041)

Pewarta: NON
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2010