Pekanbaru (ANTARA) - Mungkin tak banyak yang tahu kalau di sekitar dapur rumah warga di Jalan Tanjung Medang, Kecamatan Limapuluh, Kota Pekanbaru, ini sempat menjadi gudang tumpukan lokomotif dan rel kereta api pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang.

Besi-besi tua itu dulunya digunakan untuk pembangunan jalur kereta penghubung Muara Kalaban - Muaro di Sumatera Barat hingga ke Kota Pekanbaru di Riau pada masa jaman penjajahan Belanda dan Jepang.

Hanya Desrina, sang pemilik rumah dimana sebuah tungku lokomotif tua itu berada yang masih setia merawatnya. Sedangkan separuhnya lagi habis tidak berbekas dipereteli warga dijual layaknya besi tua biasa tanpa memandang aspek sejarah. Miris memang, sisa sejarah pembangunan jalur kereta api yang menelan puluhan ribu nyawa baik warga Indonesia maupun asing tersebut kini terabaikan.

"Lokomotif ini sudah ada sejak saya belum lahir. Almarhum ayah saya berpesan untuk menjaga lokomotif ini karena ini peninggalan bersejarah," kata Desrina saat ditemui belum lama ini.

Bangkai dan peninggalan sejarah itu membuktikan adanya pembangunan jalur kereta api sepanjang 246 kilometer yang menghubungkan Muara Kalaban - Muaro hingga ke Pekanbaru. Pada masa penjajahan kereta api itu akan diperuntukkan mengangkut batu bara.

Namun pembangunan rel oleh dua pengelola di dua masa yang berbeda yakni Staatsspoorwegen ter Sumatras Westkust pada masa Hindia-Belanda, dan Rikuyu Sokyoku (Jawatan Kereta Api pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda) itu kandas. Saat membangun rel kereta, Belanda dikalahkan Jepang pada tahun 1942. Kemudian saat berhasil membangun jalur darat itu, Jepang terpaksa menyerah kepada Sekutu hingga akhirnya jalur itu dipergunakan terakhir kalinnya untuk mengangkut kepulangan tentara Jepang dari Riau menuju Sumatera Barat untuk selanjutnya pulang ke Negeri Sakura. Itu terjadi pada sekitar bulan April 1946.

"Sejarah mencatat pembangunan rel kereta api tersebut menelan korban sampai lebih dari 22.000 romusha. Baik orang Indonesia maupun bule maka kami menyebutnya rel kereta api "maut," kata pengamat sejarah, Iwan Syawal.

Sejarah transportasi perkeretaapian di Sumatera sejak jaman penjajahan Belanda mencatat, Riau sudah masuk salah satu wilayah yang akan dibangun rel kereta api. Pada abad 20, Pemerintahan Belanda telah merencanakan pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan pantai barat hingga pantai timur Sumatera.

Sebelumnya, Belanda telah terlebih dahulu mendirikan rel di Sumatera Barat, dengan stasiun akhir berada di Emmahaven yang saat ini bernama Pelabuhan Teluk Bayur. Lalu pada tahun 1920, Perusahaan Negara Kereta Api Hindia Belanda Nederlands Indische Staatsspoorwegen (NIS) melanjutkan kembali penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya. Namun, rencana pembangunan kereta api ditunda dengan pertimbangan ekonomi, sehingga saat itu pembangunan rel tidak pernah terlaksana.

Pada 1942, pemerintahan Belanda takluk oleh pasukan Jepang. Peta perencanaan pembangunan rel kereta api jatuh ke tangan Jepang. Pembangunan kemudian dilanjutkan oleh Jepang dengan mengerahkan kurang lebih 100 ribu tawanan perang asing hingga pekerja asal Jawa. Mereka didapatkan dengan cara propaganda namun akhirnya dijadikan pekerja paksa. Ribuan orang meninggal karena sakit, disiksa atau alasan lainnya.

Namun, Jepang juga gagal karena kalah di Perang Dunia kedua setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom nuklir oleh pasukan sekutu pada 1945. Hal itu membuat Jepang menyerah dan menarik seluruh pasukannya dari berbagai negara jajahannya.


Keterbatasan anggaran

Kini, tak ada lagi rel kereta api yang dapat ditemui secara utuh di Riau, hanya sisa-sisa pembangunannya berupa besi, lokomotif, atau cor bantalan rel yang sudah tidak utuh lagi.

Sejumlah besi tua yang diduga rel yang muncul ke permukaan tanah sepanjang satu meter yang terletak di tengah rimba kawasan Suaka Marga Satwa di Rimbang Baling, Kuantan Singingi. Sebuah lokomotif tua juga masih kokoh berdiri di daerah Lipat Kain, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar.

Seperti mengulang sejarah, pada tahun 2015 pemerintah Indonesia menerbitkan keputusan Menteri Perhubungan RI No: KP 666 tahun 2015, tentang penetapan trase jalur kereta api umum nasional Trans Sumatera lintas Rantau Prapat-Duri-Dumai. Dokumen permohonan penempatan trase jalur kereta api Trans Sumatera Lintas itu telah dievaluasi dan dinilai memenuhi persyaratan.

Sebenarnya sudah ada kegiatan pengadaan tanah untuk rencana pengembangan jaringan jalur Kereta Api Rantau Papat - Duri - Dumai. Tapi untuk tahap awal masih Provinsi Sumatera Utara karena keterbatasan anggaran, seperti yang dirilis Direktorat Jenderal Perkeretaapian.

Faktor urgensi dalam membangun jalur kereta api tidak semua bisa dilaksanakan apalagi adanya keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Faktor potensi angkutan penumpang dan atau barang juga menjadi pertimbangan. Karena itu, pembangunan kereta api dilakukan secara bertahap disesuaikan kondisi dan ketersediaan anggaran.

Saat ini pemerintah sedang mendorong peran swasta misalnya dengan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam membangun perkeretaapian nasional. Selain itu, juga melibatkan pemerintah daerah supaya tidak terlalu tergantung dengan anggaran pemerintah pusat.

Saat ini perkembangan industri kelapa sawit di Tanah Air saat ini mengalami pertumbuhan setiap tahunnya, peningkatan terjadi baik luas area maupun produksi kelapa sawit seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat serta ekspor Crude Palm Oil (CPO) sebagai bahan baku produk-produk minyak untuk makanan maupun non makanan.

Potensi ekonomi
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Pulau Sumatera pada tahun 2018 memiliki luas lahan perkebunan kelapa sawit terbesar dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia yang mencapai 8.047l.920 hektare. Di Sumatera, daerah yang memiliki area perkebunan kelapa sawit terluas pada tahun 2018 - 2020 adalah Provinsi Riau dengan luasan 2.850.003 hektare.

Selain potensi kelapa sawit, Provinsi Riau juga punya tambang batubara yang berada di Kabupaten Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi. Belum lagi hutan kayu untuk keperluan pabrik kertas yang dimiliki oleh sejumlah perusahaan raksasa yang bermukim di Bumi Lancang Kuning ini.

Ada dua daerah yang memiliki potensi batu bara berkalori rendah untuk digarap di wilayah Riau. Dari hasil kajian, di Indragiri Hulu misalnya, cadangan batubara berkalori rendah diperkirakan mencapai 5 miliar metrik ton dan untuk cadangan selama 64 tahun. Sementara di Kabupaten Kuantan Singingi, cadangan batubara berkalori rendah terdapat di daerah Cerenti.

Mirisnya, hingga kini semua pengangkutan hasil Sumber Daya Alam (SDA) di Riau dari sentra penghasil ke Pelabuhan Dumai masih mengandalkan truk dan trailer. Sudah menjadi pemandangan sehari-hari kawanan angkutan raksasa melintasi jalur darat Lintas Timur Riau menuju Pelabuhan Dumai.

Kerawanan kecelakaan di jalan raya pun beberapa terjadi saat truk bermuatan kayu menggelinding bahkan terbalik. Belum lagi, banyaknya jalan rusak tak kuasa menahan banyaknya truk bermuatan berat itu.

Branch Manager Tol Pekanbaru-Dumai Indrayana mengatakan sejak Tol Pekanbaru -Dumai beroperasi pada sekitar September 2020, sudah terjadi 40 kecelakaan lalu lintas di tol tersebut. Jumlah itu meningkat menjadi 43 kecelakaan dari Januari hingga Juli 2021.

Dikatakannya, kecelakaan ini terjadi rata-rata antara kendaraan pribadi menabrak truk dari belakang akibat kelalaian pengendara tidak mematuhi rambu-rambu lalulintas. Pada umumnya truk melaju pelan, tiba-tiba diseruduk mobil dari belakang karena diduga keasyikan menikmati jalan bebas hambatan dengan leluasa menginjak pedal gasnya.

"Kami tidak bosannya meminta masyarakat luas pengguna Tol Permai tertib lalulintas dan patuhi rambu-rambu yang ada. Kejadian-kejadian ini terbanyak akibat lelah serta mengantuk," kata Indrayana.

Pengamat Ekonomi Universitas Negeri Riau Dahlan Tampubolon mengemukakan hal ini sebenarnya bisa disikapi jika pemerintah mau membangun moda transportasi lain khusus angkutan barang lintas provinsi, yakni kereta api sehingga tidak ada benturan antara pengangkut orang dan barang. Selain itu, juga bisa menghemat biaya perawatan jalan raya yang dibangun untuk khusus angkutan orang.

Apalagi di masa pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung dua tahun, mobilitas barang sedikit banyak terganggu akibat adanya beberapa peraturan dan pembatasan yang ditetapkan oleh pemerintah seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Tidak sedikit juga para sopir truk dan trailer yang alami kendala akibat tertular virus mematikan sehingga mengganggu proses distribusi untuk jangka panjang.

Seandainya di Riau ada jalur kereta api barang maka proses distribusi SDA tidak akan mengalami kendala karena pembatasan manusia dalam beraktifitas, dengan mengandalkan gerbong dan butuh sedikit manusia saat pengiriman barang. Mungkin ini bisa juga jadi pertimbangan jangka panjang buat pemerintah.

Sebenarnya beberapa lintasan sudah ada di sepanjang Sumatera dari Utara ke Selatan namun kondisinya belum terhubung secara langsung. Seperti kereta api dari Banda Aceh hingga Bandar lampung masih terpotong-potong jalurnya. Demikian juga jalur dari Pelabuhan Ulele sampai ke Sigli yang tidak berfungsi lagi.

Sedangkan jalur Sigli-Bieurun-Lhok Seumawe sedang dikerjakan untuk difungsikan kembali. Sedangkan, jalur Lhok Seumawe - Langsa belum ada tanda-tanda akan difungsikan. Jalur Langsa - Besitang sampai ke Rantau Prapat akan dihubungkan sebagai titik awal reaktivasi rel trans Sumatera.

Ini bisa jadi alasan saatnya Riau kembali membangun jalur kereta api dengan segala pertimbangannya.

Pewarta: Vera Lusiana
Editor: Royke Sinaga
COPYRIGHT © ANTARA 2021