Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia menolak meratifikasi rancangan pedoman terbaru Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diusung Kanada, Norwegia dan Uni Eropa, yang berisi larangan peredaran rokok kretek dan solusi ekonomi bagi petani tembakau.

"Posisi pemerintah sudah jelas, menolak meratifikasi FCTC," ujar Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Benny Wahyudi di Jakarta, Jumat.

Benny menegaskan, dalam mengembangkan industri rokok, pemerintah mengacu "roadmap" industri hasil tembakau (IHT) yang diatur Permenperin No.117/M-IND/PER/2009. Dengan begini, kata dia, pemerintah tidak perlu meratifikasi FCTC.

Berdasarkan roadmap IHT, produksi rokok dibatasi hanya mencapai 260 miliar batang pada 2015. Tahun ini, produksi rokok diprediksi mencapai 240 miliar batang, turun lima miliar batang dibanding 2009 sebesar 245 miliar batang. IHT termasuk industri prioritas yang masuk dalam Perpres No.28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional.

Dalam pedoman FCTC Pasal 9 dan 10 disebutkan larangan penggunaan bahan lain selain daun tembakau dalam produk tembakau. Pasal ini mengarah pada pelarangan peredaran rokok kretek. Selanjutnya, pasal 17 dan 18 pedoman FCTC menawarkan solusi ekonomis dan berkelanjutan bagi pertanian tembakau.

Para penandatangan FCTC akan menyetujui atau menolak pedoman pasal 9 dan 10 dan mendiskusikan pasal 17 dan 18 pada pertemuan Conference of the Parties ke-4 di Uruguay yang akan berlangsung bulan ini, November 2010.

Menurut Benny, ratifikasi FCTC belum tentu berdampak baik bagi industri rokok nasional. Dia mencontohkan, larangan ekspor rokok kretek Indonesia ke Amerika Serikat (AS) tidak serta merta dicabut jika pemerintah meratifikasi FCTC.

Ekspor rokok ke AS pada 2007 mencapai 270 juta dolar AS. Namun, tahun ini ekspor rokok kretek ke AS nihil, menyusul dirilisnya larangan ekspor. "Itu baru dari sisi ekonomi. Kalau dari sisi kesehatan, roadmap IHT sudah mengatur itu," kata dia.

Berdasarkan "roadmap" IHT, pengembangan industri tembakau selama 2007-2010 memprioritaskan aspek tenaga kerja, penerimaan dan kesehatan. Kemudian, pada 2010-2015 pengembangan fokus pada aspek penerimaa negara, kesehatan dan tenaga kerja. Baru pada periode 2015, fokus pengembangan diubah menjadi aspek kesehatan, tenaga kerja, dan penerimaan negara. (PSO-258/H002)

Pewarta: NON
Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2010