Jakarta (ANTARA News) - Negara harus bersikap arif dalam mengeluarkan regulasi atau aturan terkait tembakau dengan lebih mengedepankan kepentingan nasional.

Demikian benang merah diskusi bertajuk "Adakah Intervensi Kepentingan Asing dalam Kebijakan Pengendalian Tembakau" yang digelar Koalisi Penegak Etika Politik (Sikap) di Jakarta, Senin.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengatakan, persoalan tembakau tidak sekedar persoalan kesehatan, namun banyak sisi yang terkait, terutama menyangkut jutaan penduduk yang menggantungkan hidupnya dari komoditas itu serta kontribusi produk tembakau pada pendapatan negara.

"Pemerintah harus adil. Jangan menerapkan standar ganda dengan membatasi produksi di satu sisi, tetapi di sisi lain meningkatkan pendapatan dengan menaikkan cukai," katanya.

Ia juga mempertanyakan kesiapan penyelenggara negara untuk memberikan alternatif pekerjaan kepada warga negara yang selama ini hidup dari tembakau dan produk tembakau.

Jika memang sisi lain dari persoalan tembakau belum bisa ditangani dengan baik, lanjutnya, maka yang harus diatur bukan terkait tembakaunya, melainkan pada aktivitas merokok.

"Saya setuju pengendalian aktivitas merokok untuk melindungi obyek-obyek tertentu," kata anggota Komisi XI DPR RI itu.

Terkait kepentingan asing dibalik regulasi tembakau, Eva mengatakan, tidak dapat dipungkiri kalau sejumlah aturan perundang-undangan di Indonesia lebih memihak kepentingan asing daripada kepentingan nasional.

"Banyak undang-undang kita yang berkiblat pada kepentingan asing, bukan kepada konstitusi," katanya.

Peneliti Institute for Global Justice (IGC) Salamuddin Daeng menyatakan, dibanding persoalan kesehatan, sebenarnya kepentingan dagang asing lebih kental mewarnai regulasi tembakau.

"Perdebatan dunia tentang zat adiktif dalam tembakau masih berlangsung. Tetapi dari segi perdagangan sudah sangat jelas, apalagi Indonesia sudah menandatangani perdagangan bebas," katanya.

Dikatakannya, sebenarnya kecenderungan produksi tembakau di Indonesia terus mengalami penurunan, sebaliknya produksi rokok mengalami kenaikan.

"Artinya ada impor tembakau. Jika kebijakannya salah, bukan tidak mungkin, pada suatu saat nanti rokok pun kita impor, seperti kita mengimpor beras, garam, jagung," katanya.

Dikatakannya, produksi tembakau Indonesia hanya 2,5 persen tembakau dunia, sangat jauh dibanding produksi China, India, dan Amerika Serikat.

(S024/D009/S026)

Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2010