Kendari (ANTARA News) - Sejumlah nelayan Pulau Kadatua, Kabupaten Buton, terpaksa merantau kembali ke Malaysia karena saat ini di Kadatua musim paceklik ikan.

"Bertahan hidup sebagai nelayan di Kadatua, sudah tidak menjanjikan lagi karena hasil tangkapan dari tahun ke tahun terus menurun dan saat ini di Kadatua sedang musim paceklik," kata La Jaudin (37), nelayan Pulau Kadatatua yang datang mengurus Paspor di Kantor Imigrasi Kendari, di Kendari, Jum`at.

Menurut La Jaudin di tahun 2000-an, sekali melaut nelayan Kadatua bisa mendapat ikan tujuh sampai 10 ton, bahkan kadang-kadang mencapai 15 ton.

Hasil tangkapan tersebut kata dia, dari tahun ke tahun terus menurun dan belakangan ini, sekali melaut sudah beruntung bisa dapat 500 sampai 700 kilogram.

"Melihat hasil tangkapan ikan yang terus menurun itu, kita terpaksa memilih merantau lagi ke Malaysia, menjadi buruh bangunan di sana," kata La Jaudin yang datang mengurus paspor bersama tujuh orang rekannya.

La Jaudin mengaku terus menurunnya hasil tangkapan ikan para nlayan itu, dikarenakan pada jarak 12 mil laut ke atas di wilayah perairan laut Buton, sudah dikelilingi dengan rumpon-rumpon (rumah ikan buatan) milik nelayan asal Sulawesi Selatan.

Nelayan Kadatua kata dia, sudah berkali-kali mendatangi kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton maupun Gedung DPRD setempat, agar rumpon-umpon milik nelayan asal Sulsel itu ditertibkan.

Namun apa yang disampaikan para nelayan Kadatua tersebut tidak pernah mendapat tanggapan dari pemerintah setempat.

"Kita para nelayan Kadatua hanya mampu memasang rumpon pada jarak empat sampai tujuh mil laut dari garis pantai. Makanya, ikan-ikan dari laut Banda, tidak sampai lagi masuk pada rumpon kami, karena pada jarak 12 mil laut sudah dipadati dengan rumpon nelayan asal Sulsel," katanya.

La Jauddin mengaku bekerja sebagai buruh bangunan di Malaysia, sangat berisiko tinggi, namun ia dan kawan-kawan terpaksa menempu cara itu karena hidup sebagai nelayan di Kadatua sudah tidak menjanjikan lagi.

"Saya pernah bekerja di Malaysia sebagai buruh bangunan di tahun 1998 lalu. Hasilnya bisa menghidupi keluarga, tapi penderitaannya luar biasa, karena setiap hari harus main kucungan-kucingan dengan polisi Malaysia," katanya.  (ANT-227/K004)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010