Jakarta (ANTARA News) -   Jelang akhir tahun perdebatan tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tak kunjung tuntas. Sesama anggota DPR saja belum sepakat tentang bentuk badan tersebut, apa lagi antara DPR dan pemerintah.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah perlukaH dibentuk BPJS baru atau memanfaatkan yang ada. Pertanyaan krusial lainnya, jika tidak perlu dibentuk yang baru, lalu siapa yang menjadi penyelenggara? Bagaimana status badan hukumnya?

Pertanyaan seperti ini yang masih terus dicarikan titik temunya. Bagi masyarakat awam, nama BPJS belum dikenal.

Namun, sesungguhnya pembentukan BPJS adalah rangkaian dari upaya panjang untuk mewujudkan jaminan sosial (social security) bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang bekerja maupun tidak, seperti yang diamanatkan oleh UU No.39/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Bila ditilik dari tahun pembuatan UU SJSN, maka terlihat alotnya upaya untuk mewujudkan jaminan sosial untuk semua itu. Enam tahun tidak cukup untuk mempersiapkan suatu sistem jaminan sosial yang terpusat untuk semua, baik untuk mereka yang masih aktif bekerja, yang belum atau sedang mencari kerja maupun mereka yang sudah tidak bisa bekerja (pensiun, tua dan atau cacat).

UU SJSN sendiri merupakan amanat dari UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak atas jaminan sosial. Di sisi lain, UU No 11/2009 menyatakan negara melindungi orang tua jompo dan anak terlantar.

Pakar jaminan sosial, Prof Dr Bambang Purwoko menyatakan UU SJSN mengatur empat hal, yakni asas, prinsip, program dan badan penyelenggara sesuai prinsip jaminan sosial.

Dia menyatakan penyelenggaraan jaminan sosial yang bersifat nasional dinilai penting karena untuk mencegah kemiskinan melalui pemusatan risiko (pooling of risk) untuk redistribusi risiko secara efektif.

Jaminan sosial sendiri, kata Bambang, dirancang untuk memberikan santunan dalam bentuk uang atau kompensasi dan pelayanan kesehatan bagi setiap peserta dan anggota keluarganya apabila terkena risiko sosial ekonomi.

Manfaat jaminan sosial, kata Bambang, bersifat berkelanjutan (prinsip akuntabilitas) untuk keperluan peserta beserta keluarganya, karena sebagai program kegiatan itu diperlukan seumur hidup.

Sebagai kegiatan yang berlaku untuk semua, permasalahan pembiayaan menjadi krusial, karena pemerintah, sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundangan, wajib menanggung iuran penduduk miskin. UU SJSN Pasal 17 ayat 4 menyebutkan, iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang tidak mampu dibayar oleh pemerintah (pusat dan Pemda).

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan saat ini terdapat 31 juta penduduk miskin. Jika, pemerintah menanggung semua iuran program jaminan sosial maka diperlukan biaya yang sangat besar untuk membayar iuran penduduk miskin.

Di sisi lain, untuk program jaminan sosial tenaga kerja saja, pemerintah hanya membayar sekali, yakni sekitar Rp8 miliar, setelah itu, pengusaha dan pekerja membayar iuran pekerja setiap bulannya.

Agaknya, mempertimbang kondisi demikian maka pada tahap awal UU SJSN mengamanatkan hanya melaksanakan program jaminan kesehatan.

Artinya, nanti setiap penduduk, miskin dan kaya, memiliki akses yang sama pada pelayanan kesehatan. Penduduk miskin tidak ada lagi yang terlantar karena tidak mendapat pelayanan kesehatan.

Dana Pemerintah
Untuk mewujudkan kondisi tersebut, mantan Ketua Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (Pamjaki) Hasbullah Thabrany, menyatakan pemerintah perlu menyisihkan Rp40 triliun, atau sepertiga dari anggaran yang dibayarkan pemerintah untuk subsidi BBM dan listrik sebesar Rp120 triliun.

Secara bilangan, angka tersebut cukup fantastik, tetapi dampak yang ditimbulkan akan sangat luar biasa karena akan timbul kesadaran pada akses kesehatan yang masif.

Saat ini, bisa dikatakan sudah ada jaminan pelayanan kesehatan (JPK) pada sejumlah penduduk yang beruntung, yakni pegawai negeri sipil (PT askes), TNI (PT Asabri), pegawai swasta melalui JPK Jamsostek dan pelayanan kesehatan mandiri melalui asuransi.

Namun, jika dihitung secara nominal, yakni jumlah mereka yang bekerja tetapi belum mendapat jaminan pelayanan kesehatan masih sangat besar.

Saat ini terdapat sekitar 104 juta pekerja di sektor formal dan informal. Sekitar 30 juta diantaranya bekerja di sektor formal, dan hanya sekitar 9,46 juta yang menjadi peserta aktif Jamsostek. Dari sekitar 9,46 juta tersebut hanya sekitar 4,5 juta menjadi peserta JPK.

Artinya, jumlah mereka yang mendapat jaminan pelayanan kesehatan saat ini masih sangat kecil. SJSN akan menimbulkan gelombang kesadaran akan pentingnya akses pada jaminan pelayanan kesehatan di kalangan pekerja, baik yang formal maupun informal.

Mereka yang bekerja akan terdorong untuk memiliki jaminan pelayanan kesehatan sebagaimana yang didapat oleh penduduk miskin.

Dampaknya, Indonesia membutuhkan BPJS yang berkualitas dan sudah teruji. Saat ini terdapat dua lembaga yang melaksanakan program jaminan pelayanan kesehatan, yakni PT Jamsostek (pekerja swasta), PT Askes (PNS dan swasta) dan PT Asabri (TNI).

Di kalangan DPR sempat timbul wacana untuk membentuk badan baru sebagai BPJS. Usulan tersebut mendapat kritik tajam karena menyelenggarakan pelayanan kesehatan tidak mudah.

Pemerintah mengusulkan agar BPJS yang ada diberi wewenang untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU SJSN.Jika aspirasi pemerintah tersebut diwujudkan maka BPJS tidak akan tunggal.

Lalu bagaimana dengan kesiapan PT Jamsostek diantara dua pesaing lainnya? Dirut BUMN itu, Hotbonar Sinaga mengatakan pihaknya paling siap melaksanakan amanat UU SJSN, terlebih lagi jika dikaitkan dengan sistem pasar yang terbuka.

Dia menyatakan selama ini sudah bekerja dalam sistem pasar yang terbuka yang melayani semua orang, mulai pekerja formal sampai informal dan tidak tertutup juga untuk kalangan tertentu saja.

Kelebihan lain, kata Hotbonar, PT Jamsostek sudah teruji dari segi kualitas pelayanan, sumber daya manusia dan sistem informasi. Hal itu bisa dilihat pada sejumlah penghargaan yang diterima BUMN itu selama ini, baik dari segi transparansi, integritas dan tata kelola perusahaan yang baik.

Aset BUMN itu sudah mencapai Rp98,4 triliun, beroperasi di semua provinsi yang dibagi dalam delapan kantor wilayah (kanwil) dan diperkuat dengan 121 kantor cabang.

Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia Jamsostek, Djoko Sungkono, mengatakan pengalaman selama 33 tahun melayani program jaminan sosial tenaga kerja menjadikan PT Jamsostek siap menjadi BPJS dan melaksanakan amanat SJSN.
(E007/A038)

Oleh Erafzon SAS
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2010