Probolinggo (ANTARA News) - Sebagian warga yang tinggal berpuluh-puluh tahun di lereng Gunung Bromo mengaku pesimistis jika meningkatnya aktivitas gunung tersebut bisa berakhir petaka seperti yang terjadi pada Gunung Merapi.

Status Gunung Bromo yang naik dari siaga menjadi awas, tidak berpengaruh signifikan bagi warga setempat. Warga tetap biasa menjalankan aktivitasnya sehari-hari.

"Saya tidak khawatir. Itu sudah biasa terjadi di Gunung Bromo," kata salah seorang warga Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jatim, Rantia (60).

Menurut Rantia, aktivitas Gunung Bromo yang mengeluarkan asap hitam tebal itu merupakan rutinitas yang terjadi dalam setiap lima tahun sekali. Biasanya kejadian tersebut tidak berlangsung lama atau paling tidak terjadi selama sepekan atau sepuluh hari saja.

"Kami di sini tenang-tenang saja. Buktinya kami tetap bisa datang ke ladang menanam bawang," katanya.

Hal sama juga diungkapkan warga Ngadisari lainnya, Yono. Ia mengatakan, kepercayaan warga setempat dalam setiap lima tahun sekali dikenal dengan acara `besanan` antara Gunung Bromo dengan Gunung Merapi.

Konon, Gunung Merapi masih `besanan` atau punya hubungan keluarga dengan Gunung Bromo. "Dulu ceritanya, anaknya penghuni Gunung Bromo menikah dengan penghuni Gunung Merapi, sehingga jika ada letusan seperti saat ini anggap saja acara selamatan," katanya.

Yono juga meyakini bahwa acara selamatan tersebut tidak berlangsung lama atau paling tidak terjadi selama sepekan.

Rugi
Selain itu, kata Yono, akibat ditutupnya wisata Gunung Bromo, sejumlah warga Desa Ngadisari mengaku rugi hingga ratusan juta rupiah dalam sepekan.

"Warga di sini merugi hingga ratusan juta rupiah karena tidak ada lagi wisatawan yang datang," katanya.

Menurut dia, sebagian besar warga di Desa Ngadisari mencari nafkah dengan cara menyewakan mobil jip, kuda, ojek, losmen atau vila, untuk para pengunjung yang ingin menikmati keindahan Gunung Bromo.

Namun semenjak ditutupnya kawasan tersebut, ujar pria itu, jarang ada wisatawan yang berkunjung ke Gunung Bromo sehingga roda perekonomian masyarakat menjadi tersendat. Pasalnya, mobil jip, kuda dan losmen mengnganggur karena tidak ada yang menyewa.

"Kalaupun ada, cuma satu dua orang saja," kata Yono, yang sehari-hari bekerja sebagai penjual jasa di bidang losmen, penyewaan mobil jip dan kuda.

Sebelum kawasan wisata ditutup, Yono mengaku mendapatkan omset hampir Rp1 juta dalam sehari. Penghasilan itu didapatnya dari menyewakan mobil jip seharga Rp150 ribu sekali putaran, dan kuda dengan harga Rp300 ribu setiap putaran.

"Losmen saya juga ramai kalau sedang banyak wisatawan berkunjung," katanya.

Yono mengatakan, saat ini ia terbebani karena untuk mengurus kuda, biaya yang diperlukan guna membeli "katul" atau bahan pencampur minuman kuda, harganya mencapai Rp20 ribu per hari. "Itu belum ditambah dengan biaya membeli rumputnya," ujarnya.

Ia sendiri menyayangkan ditutupnya kawasan tersebut karena peristiwa yang tengah berlangsung di Gunung Bromo merupakan rutinitas yang terjadi dalam lima tahun sekali.

Evakuasi
Sementara itu, Kepala Desa Ngadisari, Supoyo, mengatakan, pihaknya telah mengajak warganya untuk tenang, namun tetap waspada dalam situasai seperti saat ini.

"Jika sewaktu-waktu masyarakat diminta evakuasi diri, maka mereka diharapkan mengikuti instruksi pemerintah," katanya.

Menurut dia, warga Desa Ngadisari siap mematuhi instruksi pemerintah untuk melakukan evakuasi, seiring dengan adanya peningkatan aktivitas Gunung Bromo dari status siaga ke status Awas.

Selain itu, ujarnya, dalam kondisi darurat menghadapi ancaman letusan Gunung Bromo, pihaknya mengimbau masyarakat untuk tidak berpikir materialistis, tapi mengutamakan keselamatan bersama.

"Semuanya harus bisa memahami. Di saat situasi seperti ini siapa pun yang punya tempat penginapan silahkan disediakan untuk para aparat keamanan, jangan minta bayaran," ujarnya.

Setelah penetapan status Awas Gunung Bromo mulai akhir pekan lalu pemerintah menyebarkan selebaran peringatan. Selebaran diberikan agar warga tetap waspada, namun juga bersiap-siap jika sewaktu-waktu mereka harus dievakuasi.

"Selebaran ini kami bagi kepada para ketua RT serta kami tempel di tempat-tempat umum dan strategis," kata Supoyo.

Dalam selebaran itu disebutkan, masyarakat sekitar Gunung Bromo pada radius sekitar tiga kilometer hingga 10 kilometer diharapkan tetap tenang dan waspada.

Selanjutnya, jika sewaktu-waktu terdengar peringatan untuk evakuasi berupa sirine atau bunyi kentongan bersahut-sahutan, maka warga diharapkan segera membawa barang-barang penting dan mengikuti petunjuk petugas evakuasi.

Hingga enam hari penetapan status Awas Gunung Bromo, warga sekitar Gunung Bromo, khususnya umat Hindu Desa Ngadisari terus-menerus menggelar ritual sembahyang di pura setempat.

"Seluruh masyarakat memohon keselamatan dan berharap kondisi Gunung Bromo segera membaik," katanya.

Aktivitas Meningkat
Sementara itu, Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan secara umum aktivitas Gunung Bromo berupa keluarnya asap hitam tebal pada Minggu (28/11) lebih besar dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.

Kepala Bidang Mitigasi Bencana Geologi Dari PVMBG Gede Suantika, mengatakan, besarnya letusan tersebut dapat dilihat dari jumlah amplitudunya yang mencapai 30-40 milimeter (mm).

"Jika hari-hari sebelumnya hanya sebatas 30 mm, namun untuk hari ini mencapai 30-40 mm. Tapi lebih dominan 36 mm," katanya.

Ia mengungkapkan hingga saat ini pihaknya belum melihat potensi letusan Gunung Bromo yang sedahsyat Gunung Merapi. "Dari gejala-gejala yang terjadi, mudah-mudahan kondisi Gunung Bromo konstan seperti ini saja. Kami berharap energi yang dikeluarkan semakin berkurang dan gunung ini kembali stabil," katanya.

Sejak mengalami letusan pada tahun 1981, 1994, 1996, 2000, dan 2004, letusan Gunung Bromo cenderung hanya sampai di wilayah kaldera atau sekitar lautan pasir.

"Saat ini kondisi sekitar Bromo memang masih aman, namun warga tetap diminta waspada," ujarnya.
(A052/H-KWR)

Oleh Abdul Hakim
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2010