Tanjungpinang (ANTARA News) - Komandan Gugus Keamanan Laut Armada RI Kawasan Barat Kolonel Laut (P) Ari Atmaja menyatakan tidak setuju dilakukan ekspor pasir laut walaupun ada wacana melegalkannya dari pemerintah daerah.

"Secara pribadi saya tidak setuju melegalkan ekspor pasir laut, karena akan berakibat rusaknya lingkungan bahkan ada pulau yang hilang akibat pengerukan pasir laut," kata Ari saat berbicara di hadapan anggota Komisi IV DPR RI di Tanjungpinang, Selasa.

Dia mengatakan, wacana yang dilontarkan pemerintah daerah untuk melegalkan ekspor pasir laut akibat adanya indikasi pencurian bukan solusi yang baik.

"Saya rasa melegalkan karena ada aksi pencurian sangat menyedihkan," ujarnya yang mengaku menjadi komandan pasukan saat menggagalkan aksi penyelundupan pasir laut ke Singapura dari Kepri beberapa tahun lalu.

Danguskamla Armabar tersebut mengatakan, saat aksi penyelundupan pasir laut hampir tidak ada karena pola pengamanan yang dilakukan TNI AL bekerja sama dengan Singapura sangat ketat dan mendapat pengakuan internasional.

"Kalau pun ada penyelundupan masih dengan cara tradisional sehingga akan ketahuan," katanya.

Namun dia mengakui keterbatasan armada untuk melakukan pengawasan aksi pencurian pasir laut untuk ekspor tersebut.

Sebelumnya Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mengakui hingga saat ini masih terjadi penggalian dan penyelundupan pasir laut ke luar negeri.

"Saya memang pernah dengar ada ekspor pasir laut," kata Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Kepri Isdianto menjawab pertanyaan Komisi VII DPR RI di Batam, Senin (20/12).

Ia mengatakan sebenarnya, kata dia, pasir laut masih dilarang untuk diekspor, namun banyak terjadi pencurian.

Menurut dia, ketimbang maraknya pencurian, lebih baik ekspor pasir laut dilegalkan.

"Lebih bagus dilegalkan ketimbang dicuri," kata dia.

Bila ekspor pasir laut dilegalkan, kata dia, maka kontribusi untuk daerah jelas. Asalkan, pelegalan ekspor pasir di bawah satu pintu, agar memudahkan pengawasan. (ANT-029/K004)

Pewarta: NON
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2010