Jakarta (ANTARA News) - Greenomics Indonesia menilai kinerja Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto lamban dan menimbulkan kesimpangsiuran.

Kinerja Satgas itu, menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, di Jakarta, Kamis, justru menimbulkan kesimpangsiuran soal tindak lanjut Letter of Intent (LoI) Indonesia-Norwegia kerjasama penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/ REDD+).

Hingga kini, kata Elfian, mekanisme operasional yang berbasis hukum atas rencana penangguhan izin baru yang terkait dengan aktivitas konversi lahan gambut dan hutan alam tidak ada kejelasannya dari segi aturan main yang berbasis hukum.

Karena itu, menurut dia, wajar jika Kuntoro mendapatkan rapor merah atas kinerjanya yang lamban tersebut karena dia bertindak selaku ketua Satgas.

Satgas persiapan pembentukan kelembagaan REDD+ yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2010 tanggal 20 September 2010, katanya harusnya mampu menyelesaikan tugasnya pada tanggal 31 Desember 2010 atau dapat diperpanjang hingga Juni 2011.

"Seharusnya per tanggal 31 Desember 2010 sudah ada kejelasan, misalnya dokumen Strategi Nasional REDD+ sudah diteken oleh Wakil Ketua Bappenas, termasuk dokumen Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Kalau dua dokumen itu belum ada, wajar saja jika awal Januari 2011 ini belum ada kejelasan soal mekanisme hukum terhadap moratorium izin konversi lahan gambut dan hutan alam," ujar Elfian.

Dia menilai, Satgas masih lemah menjalankan kewenangannya dalam mengkoordinasikan upaya tindak lanjut yang dilaksanakan oleh kementerian dan pemerintah daerah terkait.

"Satgas harus memahami tugas dan kewenangannya karena kelambanan yang terjadi bisa menyebabkan ketidakpastian yang berlarut-larut soal program pengurangan emisi sebesar 26-41 persen dan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen?," tegas Elfian.

Tidak adanya batas waktu yang jelas menimbulkan keragu-raguan bagi dunia usaha untuk berekspansi dan berinvestasi, katanya. "Akibatnya, target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen bisa gagal diraih. Dunia usaha bakal ikut lamban dalam mengambil keputusan," tegas Elfian.

Menurut dia, praktik konversi lahan gambut dan hutan alam juga bisa semakin tak terkendali jika aturan main yang berbasis hukum dari tindak lanjut LoI Indonesia-Norwegia itu terlalu lama dikeluarkan oleh pemerintah.

"Resikonya sama-sama buruk. Konversi lahan gambut dan hutan alam makin tak jelas pengendaliannya, target pertumbuhan ekonomi pun juga bisa terganggu," kata Elfian.

Greenomics minta Satgas REDD+ menjelaskan ke publik jadwal yang jelas, sehingga dapat meminimalisir tingkat ketidakpastian.
(A027/M012/A038)

Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2011