Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi berpendapat kritik Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri terhadap pemerintah tidak akan ditanggapi masyarakat karena telah kehilangan otentisitas (keaslian).

"Kritikan Megawati terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang sejalan dengan justifikasi empiris yang dilakukan LSI. Namun, masyarakat tidak akan `membeli` kritikan Bu Mega dengan melihat `track record`-nya saat menjadi Presiden," kata Burhanuddin kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Sehingga, lanjut dia, kritikan itu akan sulit untuk mendapatkan dukungan dan simpati masyarakat.

Menurut dia, dari segi penegakan hukum dan masalah perekonomian, pemerintahan Presiden SBY lebih baik dibandingkan Megawati saat menjadi presiden.

"Bahkan, pada jaman Megawati menjadi presiden banyak aset BUMN yang dijual dan tidak terungkapnya kasus BLBI. Masyarakat tidak akan mudah menghilangkan catatan negatif selama kepemimpinan Megawati," kata peneliti senior LSI itu.

Burhan, sapaan Burhanuddin Muhtadi, menjelaskan, selama belum ada figur-figur alternatif baru dari generasi SBY, Megawati dan Jusuf Kalla, maka kritikan tersebut tidak akan dipandang oleh masyarakat.

"Megawati merupakan wajah lama dan SBY di mata publik lebih baik dibandingkan Megawati," katanya.

Hal itu juga terungkap dalam hasil survei yang dilakukan LSI pada akhir Desember 2010 lalu, dimana penurunan terhadap tingkat kepuasan kinerja SBY hanya 22 persen dibandingkan tahun 2009 lalu.

"Penurunannya tidak secara dramatis terjadi. Pada Juli 2009 tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja SBY sekitar 85 persen, namun Desember 2010 tinggal 63 persen dari 1.229 responden. Saat ini belum ada figur baru yang lebih baik dibandingkan SBY," ujarnya.

Menurut Burhan, kritikan Megawati memang benar terjadi, di mana masih ada catatan merah selama pemerintahan SBY 2010, salah satunya masalah penegakan hukum dan dalam mengatasi persoalan ekonomi mikro.

"Sulitnya penegakan hukum karena ada kasus-kasus hukum beraroma politik, seperti kasus Bank Century, kasus Bibit-Chandra, dan kasus mafia pajak," katanya.

Sementara persoalan ekonomi mikro yang belum diselesaikan secara baik oleh pemerintah, yakni menjaga harga-harga barang terkendali, mengurangi jumlah orang miskin dan mengurangi jumlah pengangguran.

"Hanya 35 persen masyarakat yang menyatakan baik soal menjaga harga-harga barang terkendali, mengurangi jumlah orang miskin (31 persen) dan mengurangi jumlah pengangguran 27 persen," tutur Burhan.

Megawati diantaranya mengkritik pemerintah tidak lagi pro wong cilik, lebih mementingkan bagi-bagi kekuasaan dibandingkan menyejahterakan rakyat, sedangkan menteri lebih mementingkan `bersolek` dengan cara beriklan di berbagai media massa di bandingkan bekerja.

Dari sisi penegakan hukum, Megawati Soekarnoputri menilai pemerintahan tidak bisa menegakkan hukum di negara berdaulat seperti Indonesia.

"Negara yang berdaulat adalah negara yang mampu menegakkan hukum atas warganya," katanya menambahkan.

Dia mencontohkan kasus fenomenal Gayus Halomoan Tambunan.

"Gayus dengan variasi dan keleluasaannya mempertontonkan betapa kekuatan uang sedemikian berjaya. Ini membuat rakyat percaya bahwa uang adalah segalanya. Kasus ini mengungkapkan rendahnya kedaulatan negara," kata Megawati.

Selain itu, Pemerintah juga dianggap terlalu ikut campur dalam penegakan hukum, khususnya skandal dana talangan Bank Century senilai Rp6,7 triliun.(*)

S037/A041

Pewarta: NON
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2011