Pasalnya, lapangan berstandar internasional yang menjadi salah satu arena sepatu roda terbaik di Asia Tenggara itu cukup berbeda dengan tempat ia biasa berlatih menjelang PON.
"Waktunya yang dicapai itu sekitar 42 detik, karena ini lapangannya bagus, jadi kita juga tidak pernah secepat ini," kata Randika saat dihubungi dari Bandung, Jawa Barat, Kamis.
Menurut dia, di luar arena tersebut atau di tempat ia biasa latihan, waktu yang ia capai itu bisa berbeda satu hingga dua detik dibandingkan dengan di Klemen Tinal.
"Kita biasa 43 atau 44 detik, tapi 42 detik itu sudah lebih baik daripada waktu latihan, faktor lapangan sangat berpengaruh sekali," ujar Randika.
Baca juga: Minimnya adaptasi lapangan buat tim sepatu roda Jabar sulit bersaing
Meski harus takluk dari Mahesa Putra yang merupakan atlet dari DKI Jakarta, ia mengaku sudah bertanding semaksimal mungkin. Bagi Randika, potensi untuk meraih medali emas masih terbuka dari nomor pertandingan sepatu roda lainnya.
"Saya masih main di tiga nomor lagi, tapi saya menjagokan itu di relay sama di Individual Time Trial," ungkap Randika.
Arena Klemen Tinal merupakan salah satu yang terbaik di kancah internasional karena dibangun dan dibuat dengan standar atlet profesional.
Arena sepatu roda ini diambil dari nama Wakil Gubernur Papua ke-10, Klemen Tinal, yang wafat pada 21 Mei 2021. Mendiang Klemen Tinal juga tercatat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Olahraga Sepatu Roda Seluruh Indonesia (PB Perserosi) masa bakti 2017-2021.
Baca juga: Jatim raih medali emas pertama sepatu roda di nomor 3.000m putra
Baca juga: Tim sepatu roda Malut sumbang medali perdana di PON Papua
Baca juga: Mahasiswa Vokasi UI raih medali emas dan perak sepatu roda PON Papua
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Rr. Cornea Khairany
Copyright © ANTARA 2021